KOMPAS.com - Komisi Pengawas Persaingan Usaha ( KPPU) telah memutuskan adanya persekongkolan dalam tender pembangunan Jembatan Sintong di Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau pada 2023.
Perkara tersebut bermula dari laporan masyarakat dan melibatkan lima terlapor, yakni PT Arkindo (terlapor I), PT Fatma Nusa Mulia (terlapor II), CV Sarana Chaini (terlapor III), dan CV Aska Jaya Kontraktor (terlapor IV).
Sementara itu, terlapor V merupakan Kelompok Kerja (Pokja) Pemilihan I Kabupaten Rokan Hilir yang bertindak sebagai panitia tender.
Objek perkara Nomor 17/KPPU-L/2024 tersebut adalah pengadaan pekerjaan konstruksi pembangunan Jembatan Sintong di Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau untuk tahun anggaran 2023 dengan nilai pagu sebesar Rp 54 miliar.
Baca juga: Kasus Pengadaan EMU Kereta Cepat, KPPU Denda Dua Perusahaan Ini
Proses pengadaan dibuka pada 4 April 2023. Dua minggu kemudian, tepatnya 17 April 2023, diumumkan bahwa terlapor I menjadi pemenang tender dengan penawaran senilai Rp 51,56 miliar
Dugaan persekongkolan pun mencuat karena ditemukan sejumlah indikasi kuat adanya persaingan semu di antara para peserta lelang.
Investigator KPPU mengungkapkan temuannya dalam pemaparan Laporan Dugaan Perkara pada 24 Februari 2025.
Ditemukan kemiripan signifikan dalam dokumen penawaran antara terlapor I dan III, kesamaan alamat internet protocol (IP) antara terlapor I dan IV serta terlapor II dan III, hingga pola identik dalam format penghitungan harga di antara keempat terlapor.
Baca juga: Duduk Perkara Polemik Perbedaan Penghitungan Garis Kemiskinan BPS dan Bank Dunia
Investigator juga menilai, ada unsur pembiaran oleh terlapor V dalam merespons berbagai kejanggalan tersebut.
Majelis menemukan modus persekongkolan melalui metode pinjam meminjam perusahaan untuk menciptakan persaingan semu dalam tender.
Direktur terlapor III yang tidak memenuhi persyaratan sebagai perusahaan kategori besar bersepakat dengan terlapor I untuk membentuk kantor cabang terlapor I di Pekanbaru.
Kantor cabang tersebut secara khusus dibentuk untuk mengikuti tender dan menunjuk Direktur terlapor III sebagai Kepala Cabang terlapor I.
Baca juga: Tender Kereta Cepat Diwarnai Persekongkolan, KPPU Jatuhkan Denda Rp 4 Miliar
Kepala Cabang terlapor I kemudian meminjam terlapor II dan terlapor IV serta memanfaatkan terlapor III untuk mengikuti tender, agar syarat jumlah minimum peserta tender terpenuhi.
Terlapor I juga diketahui mengatur dokumen administrasi milik terlapor II, III, dan IV agar terlihat saling bersaing, padahal sudah diatur akan gugur pada tahap administrasi dengan tidak melampirkan jaminan penawaran.
Majelis Komisi juga menemukan berbagai bukti penyesuaian dokumen tender yang dilakukan para terlapor berupa kesamaan signifikan dalam dokumen penawaran yang diajukan para terlapor.
Kesamaan yang dimaksud adalah kemiripan struktur, isi dokumen penawaran, alamat IP, dan metode penghitungan harga seluruh peserta tender, serta kesamaan format dan nilai dalam dokumen harga milik terlapor II dan III.
Bukti tersebut menjadi indikasi kuat adanya komunikasi dan koordinasi dalam proses penyusunan dokumen tender.
Baca juga: Skandal Tender Pipa Gas Cisem 2, KPPU Siap Seret Dugaan Kolusi Sektor Energi ke Persidangan
Majelis Komisi menilai, peminjaman perusahaan dan penyesuaian dokumen tersebut merupakan tindakan persekongkolan yang dilakukan antara terlapor I dengan terlapor II, III, dan IV.
Menurutnya, modus meminjam perusahaan melalui pembentukan kantor cabang perusahaan dengan wewenang dan tanggung jawab penuh untuk mengikuti tender harus dihentikan karena terbukti menjadi media persekongkolan.
Majelis Komisi juga menemukan indikasi kuat bahwa terlapor V memfasilitasi terwujudnya persekongkolan di antara para terlapor peserta tender.
Indikasi tersebut terlihat dari ketidakseriusan terlapor V dalam mencermati penurunan jumlah pendaftar, penyerahan dokumen jaminan penawaran melalui pihak lain, dan evaluasi terhadap peralatan utama yang tidak sesuai dengan persyaratan.
Namun, Majelis Komisi tidak menemukan cukup bukti yang menunjukkan keterkaitan terlapor V dengan pelaku usaha lain.
Baca juga: Hasto Tak Terbukti Rintangi Penyidikan, Ketua KPK: Kurang Bukti Apa?
Berdasarkan seluruh temuan tersebut, Majelis Komisi menyatakan empat terlapor, yakni PT Arkindo, PT Fatma Nusa Mulia, CV Sarana Chaini, dan CV Aska Jaya Kontraktor, terbukti melanggar Pasal 22 Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999.
Majelis Komisi menjatuhkan sanksi tegas berupa denda sebesar Rp 1 miliar kepada terlapor I, yakni PT Arkindo.
Sementara itu, terlapor II, III, IV dilarang mengikuti tender di bidang jasa konstruksi yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) selama dua tahun di seluruh Provinsi Riau.
Majelis Komisi juga merekomendasikan kepada pengguna anggaran untuk menempatkan ketiga terlapor tersebut dalam daftar hitam.
Baca juga: Polemik Penahanan Ijazah Karyawan, Pekerja Nakal Terancam Masuk Daftar Hitam
Adapun Pokja Pemilihan I Kabupaten Rokan Hilir sebagai terlapor V dinyatakan tidak terbukti melanggar Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999.
Meski demikian, Majelis Komisi tetap merekomendasikan pemberian saran dan pertimbangan oleh KPPU kepada Pejabat Pembina Kepegawaian untuk menjatuhkan sanksi disiplin kepada terlapor V sesuai peraturan yang berlaku.
Pasalnya, sebagai panitia tender, mereka dinilai memfasilitasi terjadinya persekongkolan tender yang dilakukan oleh para terlapor.
Putusan Perkara Nomor 17/KPPU-L/2024 tersebut telah dibacakan dalam Sidang Majelis Pembacaan Putusan yang digelar di Kantor Pusat KPPU Jakarta, Senin (28/7/2025).
Baca juga: Ganjar hingga Djarot Hadiri Sidang Pembacaan Pleidoi Hasto
Susunan Majelis Komisi terdiri atas Mohammad Reza sebagai Ketua, serta Hilman Pujana dan Eugenia Mardanugraha sebagai anggota.
Putusan resmi KPPU telah dipublikasikan melalui laman https://kppu.go.id/blog/2025/07/kppu-tuntaskan-perkara-tender-jembatan-senilai-rp54-miliar-di-rokan-hilir/