KOMPAS.com - Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha ( KPPU) M Fanshurullah Asa mengatakan, amandemen Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 sudah menjadi kebutuhan mendesak.
Oleh karenanya, KPPU menyampaikan apresiasi tinggi kepada DPR RI atas inisiatif strategis memasukkan revisi UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ke dalam Program Legislasi Nasional ( Prolegnas) Prioritas Tahun 2025.
“Dalam menghadapi tantangan persaingan di era ekonomi digital dan arus masuk pelaku usaha global lintas negara, Indonesia membutuhkan perangkat hukum yang adaptif dan visioner,” ujarnya.
KPPU menyatakan kesiapan penuh untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembahasan revisi UU tersebut, termasuk memberikan masukan berbasis data dan kajian kepada Panja Komisi VI maupun Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Saat ini, Panitia Kerja (Panja) RUU Amandemen UU Nomor 5/1999 telah resmi dibentuk di Komisi VI DPR RI, dengan Ketua Panja dijabat oleh Wakil Ketua Komisi VI Adisatrya Suryo Sulisto.
Baca juga: AS Persoalkan QRIS, KPPU: Kalau Indonesia Dipaksa Pakai Visa, Justru Melanggar Persaingan
Langkah ini menandai komitmen DPR RI dalam menciptakan ekosistem usaha yang sehat dan kompetitif, sejalan dengan perkembangan zaman dan tantangan ekonomi digital global.
Sebagai informasi, revisi terhadap UU itu sempat mendekati pengesahan pada 2018, tetapi tertunda karena sejumlah pertimbangan strategis yang terjadi saat itu.
Kini, dengan meningkatnya kompleksitas persoalan seperti praktik predatory pricing, dominasi pasar digital, dan kaburnya batas yurisdiksi pelaku usaha multinasional, urgensi pembaruan regulasi semakin nyata.
Adapun UU Nomor 5 Tahun 1999 telah berusia 25 tahun pemberlakuannya dan tercatat telah tiga kali diuji secara konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi (MK).
Oleh karena itu, KPPU memandang momentum revisi itu sangat tepat untuk memperkuat fondasi hukum dalam menjaga iklim investasi yang adil dan kompetitif di Indonesia.
Baca juga: Fanshurullah Asa: KPPU Sidangkan Perkara Pinjol Rp 1.650 Triliun