KOMPAS.com - Di tengah pesatnya transformasi digital, istilah big data semakin akrab di telinga. Hampir semua aktivitas ekonomi kini meninggalkan jejak digital, mulai dari transaksi belanja daring, penggunaan dompet digital, hingga data perizinan usaha yang tersimpan dalam berbagai sistem pemerintah.
Kondisi itu kemudian memunculkan pertanyaan: jika data digital sudah begitu melimpah dan mudah diakses, mengapa Indonesia masih perlu melaksanakan Sensus Ekonomi 2026?
Pertanyaan tersebut wajar. Namun, penting dipahami bahwa big data tidak dapat menggantikan sensus. Keduanya memiliki fungsi berbeda dan justru saling melengkapi.
Sensus Ekonomi 2026 (SE2026), yang akan diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Mei–Juli 2026, tetap menjadi fondasi utama untuk membaca struktur ekonomi nasional secara menyeluruh.
Salah satu alasan utama adalah big data tidak memotret seluruh pelaku usaha. Meski aktivitas ekonomi semakin digital, sebagian besar usaha mikro kecil menengah (UMKM) Indonesia masih beroperasi secara konvensional.
Baca juga: Cocokkah Pinjol untuk UMKM? Ini Kata Ekonom dan Perencana Keuangan
Warung, pedagang keliling, kios pasar, bengkel rumahan, hingga usaha mikro berbasis keluarga umumnya tidak meninggalkan jejak digital. Banyak di antaranya tidak berjualan di e-commerce, tidak memiliki pencatatan elektronik, bahkan belum terdaftar dalam sistem perizinan.
Jika hanya mengandalkan big data, jutaan usaha tersebut tidak akan terdeteksi, padahal mereka merupakan penopang utama perekonomian nasional.
Sensus Ekonomi 2026 memastikan seluruh unit usaha mikro, kecil, menengah, hingga besar; formal maupun informal, tercatat dalam peta ekonomi Indonesia.
Selain tidak lengkap, big data juga bersifat parsial. Setiap sumber data hanya menggambarkan satu aspek aktivitas ekonomi.
Data transaksi digital, misalnya, tidak mencakup penjualan di toko fisik. Data perpajakan hanya mencatat aktivitas wajib pajak terdaftar.
Baca juga: Anak Buah Purbaya Temukan 463 Wajib Pajak Nakal, Diduga Manipulasi Data Ekspor
Sementara itu, data perbankan tidak menjangkau pelaku usaha yang belum memiliki rekening. Karena itu, big data tidak dirancang untuk menyajikan gambaran komprehensif mengenai struktur ekonomi nasional.
Sensus ekonomi memiliki fungsi berbeda: menghasilkan potret utuh tentang jumlah usaha, tenaga kerja, kinerja usaha, struktur industri, hingga kondisi antarwilayah.
Sensus Ekonomi 2026 bahkan akan menangkap dinamika ekonomi baru seperti ekonomi digital, ekonomi kreatif, dan ekonomi lingkungan.
Tantangan lainnya adalah perbedaan definisi dan standar antarsumber big data. Setiap platform dan lembaga menerapkan metode sendiri dalam mengumpulkan, mendefinisikan, dan menyimpan data. Ketidaksamaan ini membuat data sulit digabungkan atau dibandingkan.
Sebaliknya, sensus menerapkan standar statistik resmi, definisi yang seragam, serta metodologi yang memungkinkan data digunakan secara konsisten dari waktu ke waktu dan antarwilayah.
Baca juga: Gubernur Sulteng Fokus Perkuat Konektivitas Antarwilayah untuk Pembangunan Daerah
Di samping itu, big data tidak selalu memuat informasi penting yang dibutuhkan pemerintah, seperti jumlah pekerja, aset usaha, jenis kegiatan utama, atau kondisi operasional.
Padahal, informasi tersebut menjadi dasar dalam merumuskan kebijakan pembangunan dan strategi ekonomi nasional. Melalui sensus, pemerintah memperoleh gambaran mendalam dan terverifikasi mengenai karakteristik setiap unit usaha.
Oleh karena itu, Sensus Ekonomi 2026 tetap relevan dan tidak tergantikan. Big data merupakan terobosan penting dan bagian dari masa depan statistik, tetapi sensus tetap menjadi fondasi informasi ekonomi yang paling lengkap dan dapat dipercaya. Keduanya bukanlah kompetitor, melainkan instrumen yang saling memperkuat.
Dengan memahami hal tersebut, publik dapat melihat bahwa Sensus Ekonomi 2026 bukan sekadar pendataan rutin, melainkan investasi strategis agar Indonesia memiliki dasar informasi ekonomi yang kokoh, menyeluruh, dan tepercaya di tengah percepatan digitalisasi.