TANGERANG, KOMPAS.com – Peta kekuatan ekonomi dunia tengah berubah. Jika selama ini dominasi perdagangan global kerap diwarnai oleh negara-negara Barat, kini arah poros ekonomi mulai bergeser ke Selatan dan Timur.
Munculnya blok ekonomi BRICS yang beranggotakan Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, menjadi penanda penting atas kemunculan pusat pertumbuhan baru dunia.
Secara kolektif, BRICS mewakili lebih dari 40 persen populasi global dan hampir 25 persen produk domestik bruto ( PDB) dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, pengaruh ekonomi mereka semakin kuat, baik sebagai pusat produksi, pasar, maupun investasi lintas kawasan.
Bagi Indonesia—yang menjadikan diversifikasi pasar sebagai strategi utama penguatan ekspor nonmigas—keberadaan BRICS membuka babak baru. Pasalnya, negara-negara yang bergabung di BRICS, khususnya Afrika Selatan dan Brasil, memiliki potensi pasar bagi produk ekspor Indonesia.
Secara umum, Afrika kerap dipandang sebagai kawasan yang jauh dan penuh tantangan bagi pelaku ekspor Indonesia. Namun, di balik itu, benua ini menyimpan potensi ekonomi yang kian menggoda.
Dengan populasi mencapai lebih dari 1,4 miliar jiwa dan kelas menengah yang tumbuh pesat, Afrika mulai muncul sebagai pasar masa depan bagi produk-produk Indonesia.
Baca juga: Prabowo di Forum BRICS: Perdagangan dan Keuangan Kini Jadi Senjata di Politik Dunia
Data Badan Pusat Statistik ( BPS) mencatat, pada 2024 nilai ekspor Indonesia ke kawasan Afrika baru mencapai sekitar 2,4 persen dari total ekspor nasional.
Meski masih relatif kecil, tren pertumbuhannya menunjukkan arah yang positif dalam lima tahun terakhir, terutama ke negara-negara, seperti Afrika Selatan, Mesir, dan Kenya.
Afrika Selatan memang menempati posisi istimewa dalam konteks ini. Sebagai anggota BRICS, Afrika Selatan juga menjadi pusat ekonomi terbesar di kawasan Sub-Sahara.
Dari sisi konektivitas, Afrika Selatan juga berperan sebagai gateway ke pasar-pasar regional Afrika bagian selatan dan timur dengan infrastruktur pelabuhan yang lebih maju dibandingkan negara-negara tetangganya.
Peluang tersebut disadari betul oleh pemerintah Indonesia. Melalui berbagai forum perdagangan dan kerja sama bilateral, Indonesia mulai memperkuat diplomasi ekonomi dengan negara-negara Afrika.
Jika Afrika menjadi pasar masa depan, maka Brasil adalah gateway yang sudah terbuka lebar menuju Amerika Latin.
Negara dengan populasi sekitar 212 juta jiwa pada 2024 itu merupakan ekonomi terbesar di kawasan dan salah satu kekuatan industri global, khususnya di sektor agrikultur, energi, dan manufaktur.
Baca juga: Prabowo: BRICS Pilar Kuat Stabilitas Geopolitik Saat Ini
Bagi Indonesia, Brasil berperan sebagai pintu masuk penting menuju pasar Amerika Selatan. Nilai ekspor Indonesia ke Brasil terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Hal ini didorong oleh sejumlah produk, seperti minyak kelapa sawit, batu bara, suku cadang, dan karet.
Kepala Indonesia Trade Promotion Center ( ITPC) Sao Paulo Donny Tamtama menjelaskan, pada periode 2022 hingga 2024, neraca perdagangan Indonesia dengan Brasil menunjukkan tren defisit.
“Impor Indonesia dari Brasil mengalami tren pertumbuhan sebesar 17,95 persen sedangkan ekspor Indonesia ke Brasil juga mencatatkan tren peningkatan sebesar 7,71 persen,” ucapnya dalam diskusi bertajuk “BRICS Market Deep Dive: Menembus Brasil dan Afrika Selatan” di sela-sela pameran Trade Expo Indonesia (TEI) 2025, di ICE BSD Tangerang, Banten, Kamis (16/10/2025).
Tren defisit antara impor dan ekspor, lanjutnya, tak lepas dari sejumlah tantangan, mulai dari tarif impor tinggi (sekitar 12–16 persen untuk negara di luar blok Mercosur), persyaratan standar dan sertifikasi, minimnya jaringan distribusi dan mitra lokal, hingga perbedaan bahasa dan budaya bisnis.
Meski demikian, berbagai langkah konkret telah diambil pemerintah untuk memperkuat posisi eksportir nasional. Salah satunya melalui keberadaan ITPC di Sao Paulo, Brasil.
Diskusi bertajuk BRICS Market Deep Dive: Menembus Brasil dan Afrika Selatan di sela-sela pameran Trade Expo Indonesia (TEI) 2025, di ICE BSD Tangerang, Banten, Kamis (16/10/2025).Untuk diketahui, ITPC adalah lembaga perwakilan Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang bertugas melaksanakan teknis kegiatan promosi perdagangan Indonesia di luar negeri dalam rangka peningkatan ekspor komoditas barang serta jasa di luar minyak dan gas bumi.
Lembaga tersebut juga bertugas melakukan penetrasi pasar, pelayanan informasi pasar, promosi, market intelligence, pelayanan kepada dunia usaha, serta memperkuat kemitraan global dengan negara akreditasi.
Hingga kini, Indonesia memiliki lebih dari 20 ITPC yang tersebar di berbagai kota dunia, termasuk Sao Paulo dan Johannesburg.
Baca juga: Dorong Pelaku Usaha Lokal Naik Kelas, LPEI Hadirkan 14 Mitra di TEI 2025
Di samping adanya dukungan pemerintah melalui ITPC, Donny pun optimistis posisi eksportir nasional ke Brasil akan menguat karena sejumlah peluang masih terbuka lebar.
“Pasar domestik Brasil besar dan potensial. Importir mereka pun mulai mencari alternatif supplier selain China. Terlebih, eksportir Indonesia juga kini mulai berpartisipasi dalam pameran internasional yang difasilitasi ITPC Sao Paulo,” jelas dia.
Sementara itu, ITPC Johannesburg juga memainkan peran serupa di Afrika. Di tengah meningkatnya permintaan produk konsumsi, bahan bangunan, dan kendaraan dari Asia, ITPC menjadi garda depan untuk memperkenalkan keunggulan produk Indonesia.
Selain diplomasi perdagangan, penguatan ekspor Indonesia juga ditopang oleh dukungan lembaga keuangan negara, seperti yang dihadirkan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank.
Lembaga di bawah naungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) itu merupakan special mission vehicle (SMV) pemerintah yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2009 tentang LPEI.
Mandat utamanya adalah menjalankan Program Pembiayaan Ekspor Nasional (PEN) yang mencakup pembiayaan, penjaminan, asuransi, dan jasa konsultasi ekspor.
LPEI tak hanya memberi fasilitas finansial, tetapi juga layanan nonfinansial melalui sejumlah program, seperti Coaching Program for New Exporters (CPNE), marketing handholding, dan Desa Devisa.
“Semua program itu diarahkan untuk menyiapkan pelaku usaha, khususnya UKM, agar mampu bersaing di pasar global,” ujar National Interest Account (NIA) Dept. Head LPEI Agnes Rahadian yang juga hadir pada acara tersebut.
Baca juga: Lewat Desa BISA Ekspor, LPEI Perkuat Peran Desa di Pasar Global
Salah satu pilar terpenting dukungan pemerintah yang dijalankan LPEI adalah Program Penugasan Khusus Ekspor (PKE).
Berdasarkan PMK Nomor 183/PMK.08/2021, PKE merupakan penugasan yang diberikan Pemerintah kepada LPEI untuk menyediakan Pembiayaan Ekspor (pembiayaan, penjaminan, dan/atau asuransi) atas transaksi atau proyek yang secara komersial sulit dilaksanakan, tetapi dianggap perlu oleh pemerintah untuk menunjang kebijakan ekspor nasional.
“Hingga September 2025, total alokasi dana PKE yang diterima LPEI mencapai Rp 13,7 triliun. Dana ini tersebar dalam sembilan program, termasuk lima yang dapat langsung dimanfaatkan eksportir,” ucap Agnes.
Dia merinci, salah satu program unggulannya adalah PKE Kawasan. Program ini secara khusus diarahkan untuk memperluas jangkauan ekspor Indonesia ke negara-negara nontradisional, seperti Afrika, Asia Selatan, Timur Tengah, Eropa Timur, dan Amerika Latin.
Dengan alokasi dana mencapai Rp 2,6 triliun hingga 2028, program itu menjadi jembatan penting bagi pelaku usaha nasional untuk memasuki pasar-pasar baru yang selama ini belum tergarap optimal.
Baca juga: Indonesia Eximbank Bawa 14 Eksportir Binaan yang Berorientasi Keberlanjutan ke TEI 2025
Di sisi lain, PKE Usaha Kecil dan Menengah (UKM) memberikan dukungan finansial bagi pelaku usaha dengan orientasi ekspor agar mampu menembus rantai pasok internasional dengan alokasi dana sekitar Rp 2 triliun hingga 2029
Untuk memperkuat arus perdagangan lintas negara, LPEI juga menjalankan PKE Trade Finance (TFC) dengan nilai Rp 2,5 triliun hingga 2029.
“Melalui program itu, eksportir dari berbagai sektor, seperti karet, kopi, furnitur, tekstil, produk kimia, otomotif, dan makanan olahan, mendapat kemudahan pembiayaan transaksi ekspor” jelas Agnes.
Sektor industri besar juga tak luput dari perhatian. Melalui PKE Industri Alat Transportasi dan Pendukung (ATP) senilai Rp 1,5 triliun hingga 2026, LPEI mendukung pembiayaan untuk industri strategis, seperti perkapalan, perkeretaapian, kedirgantaraan, dan transportasi berbasis listrik. Seluruh sektor ini berpotensi besar menjadi andalan ekspor manufaktur Indonesia.
Baca juga: Indonesia Eximbank Luncurkan Buku Strategi Ekspor Jawa Tengah
Sementara itu, di bidang kesehatan, PKE Industri Farmasi dan Alat Kesehatan (IFA) dengan alokasi Rp 500 miliar hingga 2027 hadir untuk mendorong kemandirian industri nasional sekaligus memperluas ekspor produk farmasi dan alat kesehatan buatan Indonesia ke pasar global.
Khusus untuk PKE Kawasan, hingga September 2025, Program PKE Kawasan telah tersalurkan kepada pelaku ekspor lebih dari dari Rp 9,5 triliun dan mendukung ekspor ke lebih dari 50 negara tujuan ekspor di kawasan.
“Melalui pendekatan sinergis antara pembiayaan, pendampingan, dan promosi pasar, LPEI tidak hanya menjadi lembaga keuangan, tetapi juga mitra strategis bagi pelaku ekspor Indonesia untuk menembus pasar baru seperti Brasil dan Afrika Selatan yang merupakan dua ekonomi kunci dalam blok BRICS,” imbuh Agnes.