JAKARTA, KOMPAS.com – Sebagai Special Mission Vehicle (SMV) Kementerian Keuangan RI, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank terus memperkuat organisasi dan tata kelola agar peran strategisnya dalam mendukung ekspor nasional berjalan optimal.
Untuk diketahui, LPEI merupakan lembaga khusus yang dibentuk oleh pemerintah. Pembentukannya didasari Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.
Dalam beleid itu diatur empat mandat yang diemban LPEI, yaitu memberikan Pembiayaan, Penjaminan, Asuransi, dan Jasa Konsultasi kepada pelaku usaha ekspor, baik langsung maupun tidak langsung.
Selain itu, LPEI juga membantu pengusaha yang ingin berinvestasi di negara-negara lain.
Dukungan LPEI pun tidak terbatas untuk perusahaan besar, tapi juga usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang seringkali kesulitan mengakses pembiayaan dan tengah menjadi perhatian pemerintah.
Head of Compliance, HR & TO LPEI Wahyu P Wibowo menjelaskan bahwa exim bank di setiap negara pada dasarnya dibentuk untuk dua tujuan, yaitu mendorong ekspor nasional dan membantu pengusaha yang ingin berinvestasi di negara lain.
“Contohnya seperti yang dilihat selama ini, banyak perusahaan asing membuka investasi di Indonesia, menjalankan berbagai proyek. Sebagiannya dibiayai oleh exim bank negara asalnya. Inilah alasan exim bank diperlukan. Adanya konektivitas Indonesia dengan dunia internasional akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional,” ujarnya kepada Kompas.com, Kamis (16/11/2023).
Meski menjadi tugas utama, pembiayaan bukan satu-satunya tujuan LPEI berdiri.
“Apa yang dilakukan LPEI bukan sekadar memberikan pembiayaan. Karena bank-bank lain kan juga bisa melakukannya,” kata Wahyu.
LPEI, lanjutnya, memperhatikan tiga aspek penting yang mesti dijalankan agar kehadirannya benar-benar memberikan dampak besar bagi negara. Selain itu, mitra atau nasabahnya bisa memiliki usaha yang mengusung keberlanjutan.
Pertama, Beyond Financing. Selain finansial, LPEI juga mendukung pengembangan komoditas unggulan, memberikan dukungan kepada perbankan, dan pembiayaan ekspor.
Kedua, Developmental Impact. LPEI mendukung sektor bernilai tambah yang tinggi, berkolaborasi dengan platform digital, menjajaki potensi ekspor di sektor-sektor komoditas non-utama, dan pembiayaan dengan konsep value chain, dengan tujuan untuk menciptakan manfaat ganda baik dari aspek ekonomi, kesejahteraan maupun peningkatan daya saing produk lokal.
“Misalkan, ada mitra yang harus kirim satu kontainer pada November 2023 dan menyanggupi. Namun, ketika permintaan datang lagi di tahun berikutnya, tidak bisa karena berbagai kendala. UMKM masih banyak seperti itu, entah karena faktor alam maupun sumber daya manusia,” terang Wahyu.
Ketiga, Sustainability. LPEI mengintegrasikan environmental, social, and corporate governance (ESG) ke produk dan layanannya, mempertimbangkan aspek keberlanjutan lingkungan, sosial, dan keberpihakan dalam pemilihan portofolio. Lembaga ini juga mendorong renewable projects dan membantu nasabah untuk memperoleh green certification.
Wahyu menjadikan salah satu nasabah LPEI, sebuah perusahaan eksportir udang asal Jawa Timur, sebagai contoh usaha yang sudah memenuhi aspek ketiga.
Perusahaan tersebut, lanjutnya, mendapat sertifikasi keberlanjutan dari importir udang Amerika Serikat (AS). Standar keberlanjutan yang dipenuhi mencakup cara pembiayaan yang tidak merugikan petani, penanganan penyakit dan pengelolaan saluran air yang tidak mencemari lingkungan. Selain itu, indeks kesejahteraan petani sekitar juga diukur untuk memastikan bahwa produksi udang tidak merugikan petani. Pihak AS melakukan inspeksi langsung untuk menilai semua indikator tersebut.
“Saat ini, udang dari perusahaan tersebut sudah mencapai pasar AS, Rusia, dan beberapa negara Eropa lain,” kata Wahyu.
Agar dapat menjalankan peran strategisnya, LPEI pun melakukan sejumlah penguatan organisasi dan tata kelola yang baik.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh LPEI adalah dengan mengadopsi budaya kerja yang Agile, Profesionalisme, Integritas, dan Kreatif (APIK) sejak 2022.
Wahyu menuturkan, budaya APIK merupakan hasil dari proses transformasi yang melibatkan berbagai kegiatan, seperti focus group discussion (FGD) dan wawancara. Budaya ini tidak hanya menjadi pedoman dalam bekerja, tapi juga saat berkolaborasi dengan pihak eksternal.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, terdapat empat pilar yang menjadi landasan pengimplementasi budaya APIK di LPEI, yaitu, Collaborative Execution Culture, yakni budaya yang mengedepankan eksekusi dan kolaborasi. Lalu ada Performance Driven Culture, yaitu budaya yang mengedepankan kinerja dan penilaian kinerja secara obyektif.
Pilar selanjutnya adalah Governance, Risk and Compliance Culture, yaitu nilai yang mengedepankan disiplin, taat azas, serta patuh terhadap sistem dan prosedur operasional lembaga, serta sadar akan risiko.
Sementara pilar terakhir yaitu Learning Culture, yaitu budaya yang mengedepankan pembaruan kapabilitas sesuai tren dan kebutuhan pasar melalui berbagai metode. Contohnya, sharing knowledge, coaching and mentoring, serta pelatihan berbasis kompetensi.
LPEI juga memberikan kesempatan dan dukungan bagi para pegawai untuk belajar dan berkembang sesuai dengan budaya APIK. Upaya ini diwujudkan lewat pelaksanaan program people development dalam bentuk pelatihan wajib ataupun sukarela untuk memenuhi kebutuhan organisasi dan individu.
Adapun contoh pelatihan wajib di antaranya adalah pelatihan manajemen risiko dan credit risk. Sementara, pelatihan sukarela, seperti pelatihan bahasa Inggris dan penulisan artikel.
“Pelatihan sukarela bertujuan untuk meningkatkan potensi individu LPEI. Namun, hanya pegawai yang memenuhi syarat yang bisa mengikutinya,” jelas Wahyu.
LPEI juga menyiapkan platform XLEARN yang dapat diakses kapan dan di mana pun sebagai media pembelajaran mandiri dan sharing pengetahuan. Tak tanggung-tanggung, fasilitas beasiswa strata 2 (S2) pun disediakan.
“Kami memfasilitasinya pegawai yang ingin melanjutkan pendidikan. Namun, dengan syarat, pegawai tersebut harus memenuhi seluruh kriteria yang diminta,” ujarnya.
Adapun dalam setiap penerapan hal baru, sekali pun bertujuan positif, kerap ditemukan perbedaan pandangan dari segelintir pihak yang mungkin menimbulkan konflik internal. Terkait ini, LPEI sudah menyiapkan solusinya.
Salah satunya adalah lewat Indonesia Eximbank Morning Booster (XMOB). Agenda ini berupa pertemuan mingguan yang menjadi wadah komunikasi terbuka bagi internal LPEI.
“Sebenarnya, dengan pilar Collaborative Execution Culture, masing-masing pegawai mau tidak mau diajak untuk mengesampingkan hal-hal lain dan berusaha fokus pada tujuan atau makna dari suatu tugas. Dengan demikian, mereka akan memberikan usaha terbaiknya sehingga proses kolaborasi internal dapat berjalan dengan baik dan minim risiko konflik,” kata Wahyu.
Dengan penguatan organisasi dan penerapan praktik tata kelola lembaga yang baik, LPEI berharap dapat terus mendukung dan mendorong ekspor nasional.