KOMPAS.com- Kegiatan percepatan rehabilitasi mangrove yang sedang digencarkan oleh Pemerintah Indonesia mulai dilirik dunia, salah satunya Pemerintah India.
India sendiri, menurut Global Wetlands, masuk urutan ketujuh negara yang memiliki lahan mangrove terbesar di dunia dengan luas 623.000 hektar (ha).
Pemerintah India ingin mengembangkan pontensi mangrove yang ada tersebut sebagai komitmen untuk mitigasi perubahan iklim di dunia, melalui kegiatan studi banding di Indonesia pada tanggal 10-13 juli 2023.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menyambut baik kedatangan
Pemerintah India.
Siti Nurbaya menjelaskan, percepatan rehabilitasi mangrove menjadi sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo sejak 2014.
"Kegiatan rehabilitasi mangrove sangat penting bagi Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim," ujar Siti dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Jumat (14/7/2023)
Baca juga: Kisah Petani Talio Hulu Kalteng Diminta Tanam Padi di Lahan Gambut, BRGM: Cegah Karhutla
Sementara itu, Duta Besar India untuk Indonesia Ahmed Basir mengungkapkan apresiasinya atas terselenggaranya studi banding tersebut.
“India dan Indonesia berhasil menyelenggarakan dialog untuk pertama kalinya sejak Covid-19. Perlu diketahui, India selalu menjadi salah satu yang terdepan dalam mitigasi perubahan iklim," ujar Ahmed Basir.
"Dalam agenda G20, India menjunjung prinsip 'One World, One Family, One Future' yang menekankan pentingnya lingkungan hidup untuk kehidupan.” tambah Ahmed Basir.
Alasan Pemerintah India melakukan studi banding ke Indonesia, kata dia, karena Indonesia memiliki ekosistem mangrove terluas di dunia dengan total luasan 3,36 juta ha.
Selain itu, ambisi Pemerintah Indonesia dalam pelaksanaan rehabilitasi mangrove, menarik Pemerintah India untuk mempelajari kegiatan rehabilitasi mangrove. Namun, ekosistem mangrove di Indonesia memiliki ancaman deforestasi terutama mangrove di kawasan non-hutan.
Hal itu disebabkan oleh kegiatan penebangan mangrove secara ilegal, perubahan fungsi lahan mangrove menjadi tambak, maupun pembukaan lahan mangrove untuk pemukiman.
Melihat hal ini, Pemerintah Indonesia membentuk Badan Restorasi Gambut dan Mangrove
(BRGM), sebagai upaya percepatan rehabilitasi mangrove di sembilan (9) provinsi prioritas hingga tahun 2024.
Sembilan provinsi yang dimaksud adalah Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Papua, dan Papua Barat.
Terhitung dari tahun 2021 hingga kini, BRGM telah melaksanakan rehabilitasi mangrove seluas 38.549 ha.
Kepala BRGM Hartono menjelaskan bahwa dalam pelaksanaannya, kegiatan percepatan
rehabilitasi mangrove bukan hanya sekadar menanam mangrove kembali.
Baca juga: Mitigasi Kebakaran Lahan Gambut, BRGM Gelar Sekolah Lapang Petani Gambut
Pasalnya, kata dia, kegiatan ini juga melibatkan pemerintah daerah dalam penguatan kebijakan dan kelembagaan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Ini dilakukan karena mangrove mempunyai peranan penting dan bermanfaat untuk berbagai sektor.
Pertama, kata Hartono, karena mangrove mempunyai nilai budaya. Di daerah seperti Papua, masyarakat lokal menganggap mangrove dan fauna terkait, sebagai nenek moyang.
"Kedua, mangrove berfungsi sebagai pelindung daerah pesisir dari abrasi, gelombang kuat, badai, dan naiknya permukaan laut. Nilai perlindungan ini ditaksir berkisar antara 10.000 - 100.000 dollar Amerika Serikat (AS) untuk setiap hektar per tahunnya," ujar Hartono,
Ketiga, lanjut Hartono, mangrove merupakan habitat penting dan tempat pembibitan ikan. Sekitar 55 persen biomassa ikan yang ditangkap di Indonesia berasosiasi kuat dengan mangrove.
Agenda studi banding ini rencananya akan dilanjutkan dengan kunjungan ke Kawasan Taman
Hutan Raya Mangrove di Provinsi Bali, tempat para pemimpin dunia melakukan penanaman
mangrove pada puncak acara G20 di Indonesia.
Kunjungan ini diharapkan dapat mempererat kerja sama dan pemahaman lebih dalam akan ekosistem mangrove.