KOMPAS.com – Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) berupaya mewujudkan komitmen Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca (GKR) sebesar 29 persen dengan upaya sendiri atau 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030.
Oleh karenanya, BRGM menerapkan strategi 3R, yaitu rewetting, revegetation, dan revitalization agar tujuan tersebut tercapai.
Kepala Kelompok Kerja Kerjasama Hukum dan Hubungan Masyarakat BRGM Didy Wurjanto mengatakan, rewetting dilakukan dengan membuat sumur, menimbun kanal, hingga membuat sekat kanal.
Sementara itu, revegetation adalah penanaman kembali melalui persemaian, penanaman, dan regenerasi alami. Sedangkan revitalization adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian, perikanan dan ekowisata.
“Jadi BRGM tidak hanya bekerja untuk pengendalian iklim, tapi restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove ini juga bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ini sangat penting,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Senin (1/11/2021).
Baca juga: Hari Sumpah Pemuda, BRGM Ajak Anak Bangsa Jaga Gambut dan Mangrove
Oleh karena itu, dalam pelaksanaan program tersebut, BRGM melibatkan langsung masyarakat lokal agar bisa merasakan secara langsung manfaatnya, termasuk dalam peningkatan ekonomi.
“Kami kerja sama dengan masyarakat lokal karena mereka tahu persis kondisi di lapangannya. Kita sudah membangun 17.000 infrastruktur pembasahan gambut (IPG), 5.000 sekat kanal,” ujarnya.
Didy mengatakan, pihaknya sudah merehabilitasi ratusan hektar ekosistem mangrove dan memberikan paket-paket revitalisasi ekonomi yang dikembangkan bersama masyarakat.
Melalui upaya-upaya tersebut, BRGM optimistis komitmen Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim pada 2030 dapat tercapai.
Baca juga: Berkat Menanam Mangrove, Warga di Sorong Bisa Buka usaha dan Beli Sepeda Motor
Perlu diketahui, terkait permasalahan perubhan iklim, Indonesia menjadi salah satu negara ayng diminta berkontribusi mengurangi emisi GRK, terlebih karena memiliki ekosistem gambut terbesar keempat dan mangrove terluas di dunia.
Pasalnya, ekosistem gambut dan mangrove berperan penting dalam pengendalian perubahan iklim dunia yang mengancam seluruh makhluk hidup di bumi.
Penasehat Senior Yayasan Lahan Basah, I Nyoman Suryadiputra menegaskan, Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat kaya akan lahan basah.
“Lahan basah merupakan 'tempat parkir' air tawar, misal kalau luas gambut 20 hektar dengan kedalaman 5 meter saja, artinya ada 1 triliun kubik air tawar di lahan gambut kita. Sedangkan 3,31 juta hektare mangrove akan menjadi 'tempat parkir' karbon,” ungkapnya.
Nyoman juga menyebutkan, lahan mangrove akan hancur apabila laut naik. Kerusakan di lahan gambut juga bisa terjadi jika ada terlalu banyak kanal yang berpotensi membuat gambut terbakar.
Baca juga: Lestarikan Batik, BRGM Gelar Pelatihan Membuat Pewarna Alam
Guna mencegah hal tersebut terjadi, Kepala Subdirektorat Adaptasi Ekologi Alami, Direktorat Adaptasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nuraeni menyebutkan, ada dua aksi nyata yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi perubahan iklim yaitu mitigasi dan adaptasi.
Mitigasi dilakukan dalam rangka mengurangi emisi, contohnya ekosistem potensial gambut dan mangrove yang bisa berperan dalam pengurangan emisi GRK.
Sementara itu, adaptasi adalah upaya untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim agar potensi kerusakan berkurang, peluang yang ditimbulkan bisa dimanfaatkan, serta konsekuensi yang ditimbulkan akibat perubahan iklim bisa teratasi.
“ Perubahan iklim jelas berdampak pada kehidupan. Pemerintah dalam hal ini, kami dari KLHK, sudah mencoba identifikasi modalitas atau support system untuk memastikan komitmen kita bisa tercapai,” ujarnya.
Baca juga: BRGM Targetkan 1,2 Juta Hektare Lahan Gambut Direstorasi pada 2021-2024
Nuraeni juga mengatakan, pihaknya sudah mencoba menyediakan peta jalan untuk adaptasi perubahan iklim sebagai pelengkap dokumen Nationally Determined Contribution (NDC).