KOMPAS.com – Badan Restorasi Gambut (BRG) menggagas konsep Pengelolaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) untuk mencegah terjadinya kerusakan fungsi-fungsi lingkungan, dalam hal ini lahan gambut.
Dengan konsep ini, pembukaan usaha bisa dilakukan dengan lebih ramah lingkungan. Terlebih, isu ketahanan pangan saat ini semakin didengungkan seiring adanya pandemi Covid-19.
Salah satu desa yang sudah menerapkan konsep itu adalah Desa Ganesha Mukti, Kecamatan Muara Sugihan, Sumatera Selatan.
Kepala Desa Ganesha Mukti, Tuwon mengatakan, masyarakat desa yang berprofesi sebagai petani telah menerapkan pertanian alami tanpa membakar lahan dan berhasil menyediakan cadangan pangan rumah tangganya.
Dia menyebut, pertanian alami yang diterapkan adalah sistem tabur benih langsung. Sistem ini muncul karena warga tidak menginginkan terjadi kebakaran lagi di desanya.
Baca juga: Jaga Ketahanan Pangan, BRG Gelar Pelatihan Pertanian Lahan Gambut di Merauke
"Kami tidak mau terulang lagi kebakaran lahan, juga sudah ada larangan membakar," ujarnya seperti keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Jumat (16/10/2020).
Tuwon mengatakan, saat ini warga mampu menghasilkan 4.800 ton beras putih, ratusan ton beras merah, dan berton-ton beras hitam dari areal pertanian seluas 1.200 hektar (ha).
"Itu dihasilkan sekali panen. Ini baru satu kali," tegasnya.
Menurut Tuwon, PLTB membawa dampak positif karena mampu menjaga lahan gambut dari kebakaran, memenuhi kebutuhan pangan warga, dan menambah penghasilan.
Terkait ketahanan pangan di masa pandemi, Tuwon menyebut warga desa tidak terpengaruh, terutama dalam hal pasokan pangan.
Baca juga: Belajar Bertani Tanpa Bakar Lahan Gambut dari Masyarakat Sumatera Selatan
Klaim ini bukan tanpa alasan. Dia menyebut, sejak dulu warga selalu menyimpan gabah kering di rumah masing-masing.
"Jadi ada budaya sejak saya kecil, stok makan keluarga harus dicukupi. Sisanya baru dijual," ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Kelompok Wanita Tani Srikandi Ganesha Mukti Siti Sari menuturkan, sistem ini dapat memastikan terpenuhinya kebutuhan pangan warga.
Menurutnya, setiap kepala keluarga minimal punya cadangan 20 karung gabah kering di rumahnya.
"Kalau kami giling, satu karung itu kisaran 45 kilogram," terangnya.
Baca juga: Wujudkan Pertanian Alami, Badan Restorasi Gambut Dukung SLPG
Selain teknik menyimpan pangan, warga juga menanam di pekarangan rumah. Lewat program yang diinisiasi BRG tersebut, warga dapat menanam sayur mayur dan tanaman obat keluarga.
Selain itu, warga juga bisa mengolah berbagai produk makanan ringan untuk menambah penghasilan.
"Produk yang kami hasilkan yaitu keripik pisang, kue akar kelapa, dan lainnya," jelas Siti.
Lebih lanjut, Siti mengatakan, selain beras putih warga mengembangkan pula varietas beras merah dan hitam. Kedua varietas ini pun memberi keuntungan besar bagi petani.
Baca juga: Lestarikan Gambut, Manfaatnya bagi Manusia Begitu Luar Biasa
"Kami sih inginnya menanam beras merah dan hitam soalnya ada uangnya. Kalau beras putih, kecuali pandan wangi, harganya terbilang murah," katanya.
Saat ini, beras merah ditanam di areal persawahan seluas 80 hingga 100 ha. Sementara itu, beras hitam yang baru diuji coba ditanam di areal seluas 5 ha.
Siti menyebut, dua jenis beras itu mudah dibudidayakan. Perawatannya juga tidak begitu susah.
“Kalau beras putih itu kalau kena wereng tahan dengan hama," bebernya.
Ke depan, Siti berharap, BRG bisa meneruskan pembinaan untuk masyarakat, terutama untuk budidaya beras merah dan hitam.
Baca juga: Revitalisasi Ekonomi, Upaya Badan Restorasi Gambut Pulihkan Ekosistem di Lahan Gambut
"Dan semoga ada inovasi agar tidak menanam beras putih terus," harapnya.