KOMPAS.com - Direktur Pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Roswita Nilakurnia mengatakan, peningkatan pemahaman para pekerja terhadap keselamatan dan kesehatan kerja ( K3) menjadi fokus utama pihaknya dalam meredam tingginya angka kecelakaan kerja di sektor perkebunan.
Oleh karenanya, BPJS Ketenagakerjaan bersama International Labour Organization (ILO) menggelar Training of Trainers (ToT) metode pelatihan participatory action oriented training (PAOT) K3.
ToT itu digelar bagi 400 peserta yang berasal dari 200 perusahaan di sektor sawit di wilayah Sumatera dan Kalimantan.
Kegiatan yang digelar di Pangkalan Bun itu juga menutup seluruh rangkaian ToT yang sebelumnya dilaksanakan di Palembang, Medan, dan Riau sejak 18 September 2024.
Roswita mengungkapkan, wilayah Kalimantan, khususnya di Pangkalan Bun, merupakan salah satu daerah dengan jumlah perusahaan sawit yang signifikan. Maka dari itu, implementasi K3 di wilayah ini sangat krusial.
Menurutnya, salah satu upaya penting dalam menurunkan tingkat kecelakaan kerja adalah melalui pelatihan ToT K3.
Pelatihan itu bertujuan menciptakan agen-agen perubahan di lingkungan kerja yang mampu menyebarluaskan dan menanamkan budaya K3 secara efektif dan meningkatkan kesadaran pekerja akan pentingnya K3 dan Perlindungan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.
"Kami bangga rangkaian kegiatan ini berjalan dengan lancar dan berhasil mencetak para pelatih internal yang kompeten, yang akan terus menyebarkan ilmu K3 di perusahaan masing-masing,” ujarnya dalam siaran pers.
Dengan lebih banyaknya pekerja yang terlatih dalam praktik K3, potensi kecelakaan di tempat kerja dapat diminimalkan.
Pada gilirannya, upaya tersebut akan meningkatkan keselamatan, produktivitas, dan kesejahteraan secara keseluruhan.
Dengan demikian, harapan pekerja yang bisa “Kerja Keras Bebas Cemas” bisa diwujudkan.
Upaya tersebut juga selaras dengan amanah pemerintah yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2023.
PP itu mewajibkan setiap pemberi kerja untuk melaksanakan langkah-langkah promotif preventif guna melindungi seluruh tenaga kerjanya dari risiko kecelakaan maupun penyakit akibat kerja.
“Semoga hasil dari program ini memberikan manfaat besar dalam menekan angka kecelakaan kerja, khususnya di sektor perkebunan kelapa sawit," ujar Roswita.
Sektor usaha sawit, khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan, memiliki banyak pekerja yang terpapar risiko tinggi kecelakaan.
Oleh karenanya, BPJS Ketenagakerjaan berupaya memastikan setiap pekerja memiliki kesadaran dan keterampilan yang memadai terkait keselamatan kerja.
Kesadaran dan keterampilan itu berguna untuk mengurangi angka kecelakaan dan meningkatkan kesejahteraan pekerja secara keseluruhan.
Sepanjang 2023, BPJS Ketenagakerjaan mencatat lebih dari 370.000 kasus kecelakaan kerja, dengan sektor perkebunan sebagai penyumbang terbesar, yaitu 60,5 persen atau sekitar 224.000 kasus.
Baca juga: JMO Disebut Jadi Kesuksesan BPJS Ketenagakerjaan dalam Transformasi Digital
Jumlah tersebut mengalami peningkatan signifikan jika dibandingkan pada 2022 yang tercatat 169.000 kasus.
Selain itu, biaya klaim juga meningkat sebesar 24 persen, dengan total manfaat klaim Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) yang dibayarkan mencapai Rp 3,02 triliun pada 2023, naik dari Rp 2,38 triliun pada 2022.
Pada kesempatan itu, Roswita menekankan bahwa peningkatan klaim kecelakaan kerja ini bukan sekadar angka nominal.
“Setiap kasus kecelakaan berdampak langsung pada produktivitas tenaga kerja dan perusahaan,” katanya.
Dia menjelaskan, pekerja yang mengalami kecelakaan sering kali memerlukan waktu pemulihan yang panjang, yang berarti hilangnya jam kerja dan penurunan efisiensi operasional.
“Dengan meningkatnya angka klaim, beban finansial bertambah, tetapi dampak pada produktivitas dan kelangsungan usaha juga sangat signifikan. Inilah yang harus menjadi perhatian kita bersama,” jelasnya.
Baca juga: Ini Syarat dan Cara Klaim JKK BPJS Ketenagakerjaan
Sementara itu National Coordinator ILO Yunirwan Gah menyampaikan, selama ini, sektor kelapa sawit menjadi salah satu kontributor utama bagi perekonomian nasional dan sumber lapangan kerja bagi sekitar 6 juta pekerja di daerah pedesaan.
Indonesia juga tercatat sebagai produsen dan pemilik lahan kelapa sawit terbesar di dunia dengan luas perkebunan kelapa sawit mencapai 16,8 juta hektar (ha).
Dengan potensi itu, Yunirwan pun menyoroti risiko tingginya angka penyakit dan kecelakaan kerja di industri kelapa sawit, bahkan banyak di antaranya yang tidak terdokumentasikan.
"Pekerjaan di perkebunan kelapa sawit, sebagai salah satu subsektor pertanian, memiliki risiko yang tinggi dan tergolong sebagai pekerjaan yang berbahaya,” ujarnya.
Dia menegaskan, penyelesaian masalah itu membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak untuk menciptakan kondisi kerja yang selamat dan aman bagi para pekerja.
Lebih jauh, Yunirwan menjelaskan cara mengatasi resiko tingginya angka kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.
Baca juga: Di AWCA Technical Seminar 2024, BPJS Ketenagakerjaan Ingatkan Pentingnya Perlindungan Pekerja Migran
Menurutnya, salah satunya dapat dilakukan dengan meningkatkan sistem dan implementasi manajemen K3 di perusahaan dan menumbuhkan budaya K3 yang positif.
Kemudian, secara bertahap dan berkesinambungan, semua pihak mengedukasi pekerja/buruh dan para pihak yang terlibat di perusahaan untuk dapat berkontribusi maupun berkolaborasi.
Metode pelatihan yang diperkenalkan diharapkan dapat digunakan para perusahaan untuk menyebarluaskan pengetahuan tentang K3 kepada para pekerja di berbagai tingkatan melalui partisipasi aktif dalam mengidentifikasi bahaya serta resiko di tempat kerja.
Pada akhirnya, pekerja pun dapat berperan aktif dalam mengembangkan rencana aksi perbaikan yang praktis.
Nirwan juga menilai, kegiatan kolaboratif antara ILO dan BPJS Ketenagakerjaan mampu mendorong sistem kepatuhan sosial yang fokusnya pada K3.
Lebih spesifik lagi, kegiatan itu mendorong pada pencegahan penyakit akibat kerja dan penyakit akibat hubungan kerja.
Baca juga: Mengenal PBPU dalam Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan