KOMPAS.com - Musim kekeringan atau yang dikenal El Nino telah tiba. Badan cuaca Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah mengumumkan awal El Nino. Fenomena iklim ini dapat menyebabkan kekeringan di sejumlah daerah.
Kekeringan itu terjadi dari lonjakan suhu global dan kondisi cuaca ekstrem yang dapat mengakibatkan bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
El Nino dikenal luas sebagai pemanasan suhu permukaan laut dan merupakan pola iklim alami yang terjadi rata-rata setiap dua hingga tujuh tahun.
Dampak El Nino cenderung memuncak pada Desember, tetapi efeknya akan membutuhkan waktu untuk menyebar ke seluruh dunia. Dampak tertinggal inilah yang membuat para pakar percaya bahwa Indonesia akan merasakan dampaknya pada 2024.
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), El Nino memiliki dampak yang beragam dalam lingkup skala global.
Baca juga: Penjelasan BMKG soal Suhu Dingin Malam dan Pagi Hari di Musim Kemarau
Saat terjadi El Nino akan berdampak pada meningkatnya curah hujan di beberapa wilayah di belahan dunia.
Namun, dampak dari El Nino di Indonesia secara umum adalah kondisi kering dan berkurangnya curah hujan sehingga meningkatkan potensi karhutla.
Potensi karhutla akan meningkat terutama di ekosistem lahan gambut. Kubah-kubah gambut akan mengering karena musim kemarau.
Untuk mengantisipasi karhutla, Badan Restorasi Gambut dan Rehabilitasi Mangrove (BRGM), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) melakukan upaya pembasahan lahan gambut dengan memanfaatkan teknologi modifikasi cuaca (TMC).
Baca juga: Sekretaris BRGM Temui Pj Gubernur Papua Selatan Bahas Restorasi Gambut dan Mangrove
Pelaksanaan TMC bisa dilakukan menggunakan dua pendekatan metode, yakni competition mechanism dan jumping process mechanism.
Competition mechanism diterapkan untuk aktivitas penyemaian awan yang dilakukan di darat dengan sistem ground base generator (GBG) yang dipasangkan di sejumlah titik.
Pemasangan tersebut ditujukan untuk mengganggu proses fisika dalam awan-awan konvektif. Dengan begitu, durasi hujan dapat dipersingkat dan intensitasnya bisa dikurangi.
Sementara itu, metode jumping process mechanism diterapkan untuk mempercepat proses hujan di daerah tertentu.
Metode tersebut dilakukan dengan cara menyemai awan-awan yang memiliki potensi hujan dengan menabur garam natrium klorida (NaCl) atau saline berbentuk fine powder dan bahan semai “CoSAT” dengan pesawat.
Baca juga: Kerja Sama dengan UAD, Menhan Prabowo Bahas Pengembangan Rudal Anti-pesawat Terbang
Metode kedua itulah yang digunakan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk melakukan TMC di wilayah Sumatera dan Kalimantan.
Terhitung dari 3-28 Mei 2023, pemerintah telah melakukan TMC di tiga wilayah prioritas BRGM, yakni Provinsi Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan.
Sementara itu, TMC untuk wilayah Kalimantan telah dimulai di Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) pada 28 Juni hingga 10 Juli 2023.
Koordinator Laboratorium Pengelolaan TMC BRIN Budi Harsoyo menuturkan, pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pencegahan Karhutla pada 26 April 2023, pemerintah mengaku bersyukur bahwa TMC bisa dimulai lebih awal.
Dengan proses lebih awal, TMC bisa mendapatkan potensi awan lebih banyak dan memberikan manfaat efektivitas dari teknologi itu sendiri.
Oleh karena itu, TMC dinilai sangat bermanfaat untuk mengisi air pada lahan gambut.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Kelompok Kerja (Pokja) Restorasi Gambut Wilayah Sumatera Susilo Indrarto mengatakan bahwa BRGM siap memfasilitasi TMC agar bisa berjalan efektif dan tepat manfaat, sehingga dapat meminimalisasi kabut asap dari karhutla.
Untuk diketahui, Kepala Pokja Susilo Indrarto memiliki tugas utama mencegah dan memperbaiki lahan gambut agar tidak mengalami kebakaran berulang.
Kementerian LHK mencatat dalam situs SiPongi, setidaknya telah muncul 130 titik panas (hotspot) di Provinsi Riau pada April 2023.
Baca juga: Terima Kunjungan Komisi V DPR, Gubernur Syamsuar Paparkan Persoalan Infrastruktur di Riau
Satu bulan berjalan hingga 16 Mei 2023, tidak kurang dari 80 titik panas telah terpantau.
BMKG menyatakan, puncak titik panas telah akan mulai terasa pada periode Juli dan Agustus 2023.
Kondisi tersebut berimplikasi pada meningkatnya potensi kejadian bencana karhutla, khususnya di wilayah Pulau Sumatera dan Kalimantan.
Adapun wilayah Kalbar telah mendeteksi sejumlah hotspot. Oleh karenanya, kegiatan TMC sudah mulai dilakukan, dengan harapan dapat meningkatkan tinggi muka air (TMA) lahan gambut.
Kepala Pokja Restorasi Gambut Wilayah Kalimantan dan Papua Jany Tri Raharjo mengatakan bahwa TMC di Kalbar mampu meningkatkan curah hujan.
Baca juga: 7 Batas Negara di Kalbar-Kaltara Masih Dirundingkan Pemerintah dengan Malaysia
Berdasarkan data dari BRIN, rata-rata curah hujan sebelum pelaksanaan TMC di wilayah Kalbar pada 16-27 Juni 2023 sebesar 3,3 milimeter (mm).
Sementara itu, rata-rata curah hujan pada periode pelaksanaan TMC meningkat menjadi 9,8 mm.
Selain itu, data SiPongi Kementerian LHK mencatat, jumlah hotspot dapat dikurangi dari sebelum periode TMC, dari semula 67 titik menjadi 20 titik.
Jany Tri Raharjo menyatakan bahwa BRGM siap memfasilitasi pelaksanaan TMC di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) dan Kalimantan Tengah (Kalteng) dalam waktu dekat.
Ia berharap, kolaborasi multipihak tersebut dapat terus dilaksanakan untuk menjaga ekosistem gambut.
Baca juga: Sudah 11 Hari, Kebakaran Lahan Gambut di Aceh Belum Sepenuhnya Padam
TMC juga diharapkan pada musim kemarau ini perlu dilakukan antisipasi sedini mungkin, seperti upaya pembasahan lahan dengan memanfaatkan TMC untuk meningkatkan intensitas curah hujan.
Harapannya, dengan adanya hujan, kolam-kolam penyimpanan air di lahan gambut dapat terisi dan tinggi air muka tanah (TAMT) dapat terjaga.
Selain itu, hujan diharapkan menjaga kelembaban lahan gambut sehingga dapat mencegah terjadinya karhutla pada Juli-November 2023.
Adapun persiapan pelaksanaan kegiatan TMC di Provinsi Kalbar dilangsungkan pada 28 Juni 2023 hingga 9 Juli 2023.