KOMPAS.com – Sekretaris Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Ayu Dewi Utari mengatakan, rehabilitasi mangrove melalui program pemulihan ekonomi nasional (PEN) dinilai efektif dalam meningkatkan ekonomi masyarakat di masa pandemi.
“Dari catatan di lapangan, kami lihat terjadi pergerakan ekonomi masyarakat di situ. Umumnya nelayan, buruh-buruh yang bekerja di tambak mengalami penurunan ekonomi,” katanya dalam sesi gelar wicara di Indonesia Pavilion COP 26 UNFCCC yang digelar secara virtual, Senin (8/11/2021).
Dia memaparkan, pendapatan masyarakat sebelum pandemi Covid-19 sekitar Rp 2-4 juta. Kemudian, pandemi mengakibatkan banyak pasar tutup, sehingga pendapatan mereka turun drastis hampir 50 persen.
“Nah, PEN mangrove ini kan polanya swakelola, upah yang langsung masuk ke rekening masyarakat. Catatan kami itu penghasilan mereka meningkat 70 persen, ada peningkatan sebesar 20 persen,” ujarnya.
Baca juga: Sejumlah Upaya BRGM untuk Restorasi Gambut dan Mangrove di Indonesia
Untuk diketahui, program rehabilitasi mangrove BRGM menggunakan pendekatan strategis secara komprehensif dan memperkenalkan 3M, yaitu memulihkan, meningkatkan, serta mempertahankan.
“Perbedaan kegiatan 3M itu, kalau M1 dan M2 adalah penanaman diikuti pemberdayaan masyarakat dan kegiatan lain, sedangkan 3M adalah mempertahankan di areal mangrove rapat, sehingga keberadaan mangrove rapat betul-betul bisa dipertahankan dan tidak dikonversi,” katanya
Hal senada ungkapkan Direktur Konservasi Tanah dan Air Muhammad Zainal Arifin. Menurutnya, pendekatan stimulus ekonomi memang mendorong penanaman mangrove secara intensif.
“Kami betul-betul memperkenalkan program swakelola rehabilitasi mangrove dengan aktivitas baru. Kami lakukan terobosan account to account ke rekening petani, itu sebuah pergerakan yang bisa dilihat dari stimulus ekonomi ke masyarakat nyata,” jelasnya.
Baca juga: Di Forum KTT Iklim, Jokowi Pamerkan Rencana Restorasi 64.000 Hektar Hutan Mangrove
Zainal juga mengatakan, mengelola mangrove sama dengan mengelola pesisir masyarakat, yakni masyarakat adalah ujung tombak keberhasilan rehabilitasi mangrove.
Namun demikian, rehabilitasi mangrove bukanlah hal mudah. Terdapat sejumlah tantangan yang harus dihadapi, seperti pertambangan timah dan pertambakan udang yang bisa merusak ekosistem mangrove itu sendiri.
Ketua Kelompok Kerja Rehabilitasi Mangrove Wilayah Sumatera BRGM Onesimus Patiung mencontohkan, ada aktivitas tambang timah di Bangka Belitung.
Dia menjelaskan, adanya proyek penambangan timah membuat pihaknya harus melakukan pendekatan ke masyarakat dan menjelaskan cara mengelola mangrove dengan baik.
“Meskipun mungkin timah penghasilannya lebih tinggi, tapi dengan pendekatan dan edukasi ke masyarakat, mereka sudah mulai tertarik terlibat dalam rehabilitasi mangrove, mulai dari menyediakan bibit hingga bahan lain yang diperlukan,” jelasnya.
Baca juga: Bantu Penurunan Emisi Karbon, Inilah Potensi Penting dari Lahan Gambut
Sementara itu, perwakilan dari Yayasan Lahan Basah Eko Budi Priyanto mengatakan, perlu adanya edukasi terkait pertambakan ramah lingkungan agar ekosistem mangrove tidak rusak.
Terutama, lanjutnya, dalam menerapkan konsep silvofishery atau sistem pertambakan teknologi tradisional yang menggabungkan antara usaha perikanan dengan penanaman mangrove.
“Silvofishery itu harusnya dibuat dari lahan yang tidak ada lalu ditanam mangrove dan budidaya, bukan dari lahan yang sudah ada baru dibuat pertambakan,” ujarnya.
Eko juga menyebutkan, tantangan utama program ini adalah membuat petani tambak merelakan tambaknya lebih ke dalam, sehingga mangrove bisa tumbuh.
“Melalui konsep sederhana itulah apabila kegiatan konservasi ini berhasil, maka perlu adanya pendamping desa dan kontrak khusus agar bisa terus berkelanjutan,” paparnya.
Baca juga: Hari Sumpah Pemuda, BRGM Ajak Anak Bangsa Jaga Gambut dan Mangrove
Oleh karena itu, rehabilitasi mangrove ini perlu upaya bersama secara terpadu, mulai dari BRGM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (Kementerian KP), pemerintah daerah, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta pihak swasta lainnya untuk mempercepat pelaksanaan rehabilitasi mangrove nasional.
Adapun, Indonesia merupakan negara dengan hutan mangrove terluas di dunia, yakni sebesar 3,36 juta hehtar.
Oleh sebab itu, Indonesia berkomitmen kuat berkontribusi mengatasi perubahan iklim dunia dengan menurunkan gas rumah kaca, salah satunya yaitu percepatan rehabilitasi mangrove yang dilakukan BRGM.
Saat ini, terdapat 9 provinsi yang menjadi prioritas rehabilitasi mangrove, di antaranya Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Papua, dan Papua Barat.
Baca juga: Jokowi: Rehabilitasi Hutan Mangrove Ditargetkan Bisa Capai 600.000 Hektar dalam 3 Tahun