KOMPAS.com – Kepala Pusat Pembinaan Jabatan Fungsional Analis Kebijakan Yogi Suwarsono mengatakan, Sustainable Development Goals ( SDGs) di kawasan Asia Pasifik mengalami kemajuan yang sangat signifikan.
Adapun kemajuan tersebut terjadi pada pencapaian ke tujuh, yakni affordable and clean energi dan tujuan ke sembilan, yakni industry, innovation, and infrastructure.
“Dalam SDGs Report 2022 dijelaskan bahwa terdapat peningkatan anggaran internasional terkait dengan program energi baru dan terbarukan, keberhasilan penyediaan listrik untuk penduduk perkotaan dan pedesaan, serta pencapaian perluasan jaringan internet dan perluasan infrastruktur di negara berkembang,” ungkap Yogi dalam keterangan pers yang diterima Kompas.com, Kamis (20/10/2022).
Hal tersebut disampaikan oleh Yogi pada Virtual Public Lecturer seri ke-IX dengan tajuk “Pencapaian Target Millennium Development Goals ( MDGs) Melalui Evidence Based Policy di Bidang Penanganan Perubahan Iklim”, Kamis.
Di sisi lain, lanjut Yogi, terdapat beberapa tren negatif yang tertuang pada tujuan ke-12 dan ke-13, yakni responsible consumption and production dan climate change. Ini terjadi karena efek gas rumah kaca masih terus meningkat dan menimbulkan kenaikan suhu bumi.
Baca juga: Miliki Laporan Keuangan Transparan dan Akuntabel, LAN Raih WTP 15 Kali Berturut-turut
“Oleh karena itu, perlu untuk mengamati dan mengoreksi berbagai kebijakan terkait SDGs yang mungkin luput dari perhatian pembuat kebijakan untuk memberikan saran dan rekomendasi kebijakan yang dapat mendukung ke-17 tujuan SDGs tersebut,” ucap Yogi.
Berbicara mengenai MDGs, kata Yogi, bahwa MDGs merupakan sebuah rencana aksi global yang disepakati oleh sebagian besar pemimpin dunia, termasuk Indonesia.
Hal itu bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan, mengurangi kesenjangan, serta melestarikan lingkungan hidup.
“Maka sudah selayaknya pemahaman SDGs ini tidak hanya terkait dengan pemahaman kognitif, tetapi juga bagaimana prakteknya dalam mencapai 17 tujuan dan 139 target yang diharapkan dapat tercapai di tahun 2030 mendatang,” kata Yogi.
Berdasarkan target agenda SDGs, Yogi menjelaskan, hanya tersisa delapan tahun untuk menuju tahun 2030.
Oleh karena itu, ia mendorong analis kebijakan untuk mampu menerjemahkannya ke dalam instrumen-instrumen kebijakan yang lebih terintegrasi.
Dalam arti kebijakan-kebijakan sektoral dapat merespons tujuan SDGs dengan peningkatan taraf hidup, peningkatan kualitas lingkungan, serta kolaborasi antar aktor kebijakan.
“Di sinilah peran analis kebijakan menjadi sangat penting untuk bisa menghasilkan input-input saran kebijakan yang berkualitas, guna mendorong pencapaian tujuan SDGs,” jelas Yogi.
Sementara itu, United Nations (UN) Special Ambassador for The MDGs in Asia Pacific periode 2003-2007 Erna Witoelar mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menegaskan, forum Group of Twenty ( G20) yang akan diselenggarakan mendatang harus menjadi contoh bagaimana dunia bekerja sama dalam penanganan perubahan iklim.
Selain itu, kat dia, Presiden Jokowi juga ingin G20 menjadi contoh dalam mengelola lingkungan secara berkelanjutan melalui aksi-aksi konkret dan terutama dalam pencapaian tujuan SDGs tersebut.
“Evidence based policy untuk saat ini dinilai masih belum banyak diketahui oleh masyarakat. karena belum adanya data yang terintegrasi dengan baik. Maka perlu untuk didorong dengan adanya kolaborasi antar pemangku kepentingan dan aktor kebijakan, baik dari pemerintah, sektor swasta, serta akademis untuk menyusun sebuah kebijakan yang berkualitas, guna terwujudnya SDGs di tahun 2030,” ujar Erna.
Sebagai informasi, Policy Analyst Virtual Public Lecture Seri ke-IX tersebut merupakan kerja sama antara Lembaga Administrasi Negara (LAN) dengan Tanoto Foundation yang rencananya akan dilaksanakan hingga akhir Desember 2022.
Dalam Virtual Public Lecture tersebut menghadirkan berbagai pakar dan akademisi sebagai sarana pembelajaran dan pengembangan kompetensi bagi pejabat fungsional analis kebijakan yang tersebar di seluruh Indonesia.