KOMPAS.com – Ketua Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Cabang Bekasi Nia Andriani, terus berjuang melawan penyakit gagal ginjal stadium 5.
Nia bercerita, awalnya dia divonis menderita penyakit tersebut pada 2012, dengan disertai hipertensi atau darah tinggi.
“Waktu itu saya drop, lalu dibawa ke Unit Gawat Darurat (UGD) Rumah Sakit ( RS) Elisabeth Bekasi. Tekanan darah saya 200 per 100. Dokter sudah curiga, karena usia saya tergolong masih muda,” ujar Nia kepada Kompas.com melalui telepon, Senin (2/11/2020).
Dari situ, sambung Nia, ia diminta menjalani cek laboratorium secara keseluruhan. Hasil pemeriksaan pun menunjukkan, kedua ginjalnya sudah mengecil, satu 70 persen, satu 30 persen.
Baca juga: Penderita Gagal Ginjal Ini Gratis Cuci Darah Dua Kali Seminggu berkat Jaminan BPJS Kesehatan
Melihat kondisi tersebut, dokter meminta Nia melakukan cangkok ginjal. Namun mengingat proses yang rumit dan biaya cukup besar, ia disarankan melakukan hemodialisa ( HD) saja.
Sebagai informasi, hemodialisa atau cuci darah adalah prosedur yang dilakukan untuk menggantikan fungsi ginjal dalam menyaring darah.
Sayangnya, saat itu belum banyak rumah sakit ( rs) di Bekasi yang menyediakan unit HD. Hanya RS Umum Daerah (RSUD) saja yang melayani. Itu pun harus menunggu karena terdapat antrean waiting list.
“Padahal kan taruhannya nyawa, makanya orangtua saya langsung membawa saya ke RS Kedoya, Jakarta Barat agar bisa langsung pasang alat akses HD dan besoknya cuci darah,” imbuhnya.
Baca juga: Ibu Ini Bersyukur JKN-KIS Tanggung Biaya Cuci Darah Suaminya
Setelah tiga bulan berobat di rs tersebut, Nia dirujuk ke rs di Jatiwaringin agar biayanya lebih murah, yakni Rp 1 juta per HD.
“Jadi dirujuk agar labih hemat, soalnya di Kedoya biaya berangkat saja Rp 200.000, total pulang pergi hampir Rp 500.000, HD-nya Rp 1,2 juta, belum suntikan dan obat tambahannya,” tuturnya.
Setelah satu tahun menjalani perawatan, berbagai aset Nia dan keluarga pun dijual untuk biaya HD. Apalagi saat itu ayah Nia meninggal dunia, sehingga mereka harus lebih berhemat.
Wanita yang sehari-hari tinggal di Jati Asih, Bekasi itu mengatakan, saat menjalani HD, dirinya harus mengikuti anjuran dan pantangan yang diberi dokter.
Baca juga: Cuci Darah: Pengertian, Proses, Efek Samping
Contohnya seperti melakukan HD tiga kali dalam seminggu, serta mengonsumsi berbagai obat dan vitamin sesuai resep.
“Pantangannya tidak boleh makan pisang dan belimbing, karena racun dalam buah itu bisa berbahaya untuk pasien HD,” ujarnya.
Tak hanya itu, Nia menuturkan, untuk minum, dirinya juga sangat dibatasi, maksimal 600 mililiter (ml) per hari.
“Bahkan saya kalau mau HD, habis minum nimbang, naiknya berapa kilogram (Kg) gitu,” imbuhnya.
Baca juga: Kisah Sopir Taksi Kerja Pakai Selang Oksigen, Tetap Nyetir saat Cuci Darah
Hingga saat ini, berbagai anjuran dokter itu masih Nia lakukan. Ia juga tengah menjalani Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di RSPAD.
Baik HD dan CAPD mempunyai fungsi yang sama yakni membuang racun dalam tubuh, hanya caranya saja yang berbeda.
“Kalau HD kan cuci darah, jadi kami datang ke rumah sakit, kalau CAPD sebenarnya bisa dilakukan sendiri di rumah, kalau orang-orang awam bilangnya cuci perut,” imbuhnya.
Setelah tiga tahun berobat di RS Jatiwaringin tepatnya pada 2014, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan ( BPJS) Kesehatan hadir.
Nia bercerita, dirinya mendaftar layanan BPJS Kesehatan setelah mendapat tawaran dari Ketua Rukun Tetangga (RT) di daerahnya.
Menurutnya, semenjak BPJS Kesehatan hadir, biaya pengobatan menjadi lebih murah dan prosesnya mudah.
Ia pun dirujuk ke RS Hermina dan dan RS Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto sehingga lebih terjangkau dari segi biaya.
Baca juga: Penderita Gagal Ginjal Ini Gratis Cuci Darah Dua Kali Seminggu berkat Jaminan BPJS Kesehatan
“Jadi semenjak ada BPJS Kesehatan, kami hanya membayar iuran perbulan sebesar Rp 100.000 per orang, lalu untuk pengobatan mulai HD sampai CAPD-nya gratis,” tuturnya.
Nia menuturkan, pelayanan rs swasta dan negeri yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan bagus, lengkap, dan baik. Saat pengobatan tidak ada perbedaan.
“Saya diberi pula berbagai macam obat dan vitamin agar tubuh tetap kuat setelah menjalani CAPD,” imbuh Nia.
Nia berharap, ke depannya BPJS Kesehatan dapat meningkatkan pelayanan dengan memperbaiki alur rujukan.
“Kalau bisa, saat minta rujukan ke fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP), pasien tidak usah ikut, apalagi kan sekarang jamannya serba online,” tuturnya.
Dia juga berharap, pemberian obat di setiap rs bisa lebih disesuaikan dengan resep dokter.