KOMPAS.com – Samirah (52) merasa bugar dan bersemangat saat pergi ke dokter pada 2015 lalu. Waktu itu, dia hanya hendak memeriksakan benjolan besar yang ada di lehernya.
Setelah menjalani pemeriksaan, dokter mendiagnosis benjolan besar di leher bagian kiri perempuan asal Pangandaran, Jawa Barat ini adalah kanker kelenjar getah bening kategori jinak.
Samirah pun sempat tidak percaya. Apalagi, dia tidak merasakan sakit di lehernya dan cukup menjaga kesehatan karena rajin berolahraga.
Menurut dokter, penyakit tersebut bisa diakibatkan pola makan, terutama kebiasaan mengonsumsi penyedap rasa yang ada di jajanan.
“Waktu tanya dokter bisa disembuhkan apa tidak, katanya tidak bisa, harus diangkat,” ungkapnya kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Kamis (15/10/2020).
Baca juga: Benjolan di Payudara Perempuan Ini Harus Dioperasi, Untung Ada JKN-KIS
Sepulang dari situ, Samirah masih belum percaya dan memeriksakan leher kirinya ke beberapa dokter lain. Terhitung, ada sekitar lima sampai enam dokter yang dia sambangi.
Bahkan, dia juga sempat memeriksakan penyakitnya ke pengobatan alternatif. Sayangnya, dari sini dia justru mulai merasakan sakit akibat benjolan di lehernya dipijat.
Samirah menuturkan, sakit tersebut seperti nyeri yang tiba-tiba datang dari leher menuju kepalanya, kemudian seketika menghilang.
Setelah mulai merasakan sakit itulah, akhirnya Samirah setuju untuk dioperasi. Dokter pun segera merujuknya ke Rumah Sakit Siaga Medika Banyumas pada 2016.
Operasi tersebut berjalan lancar. Samirah mengaku sudah tidak sakit lagi setelah itu. Namun, saat menjalani kontrol setelah operasi, dokter menemukan benjolan baru di sebelah kanan lehernya.
Baca juga: Ibu Ini Bersyukur JKN-KIS Tanggung Biaya Cuci Darah Suaminya
Dengan begitu, ibu dua anak ini pun harus menjalani lagi operasi pengangkatan kanker kelenjar getah beningnya.
“Kata dokternya operasi lagi tapi nunggu dulu setahun. Tapi saya dua tahunan baru operasi lagi,” terangnya perempuan yang sehari-hari tinggal di Desa Kalipucang, Pangandaran, Jawa Barat tersebut.
Akhirnya, Samirah pun menjalani operasi tersebut pada 2018 dan berjalan lancar. Dia mengaku, tidak ada efek atau risiko pascaoperasi yang dialami.
Setelah operasi, kontrol hanya dilakukan sekitar tiga bulan. Sampai saat ini tidak ada lagi masalah dan gejala di lehernya. Pengobatan pun hanya dilakukan dua minggu sebelum dan setelah operasi.
Baca juga: Kisah Anak Penderita Hemofilia yang Harus Berobat Seumur Hidup
Samirah mengaku sempat mengkhawatiran soal biaya operasi. Untung, tetangganya merekomendasikan dia untuk mendaftar program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Dari rekomendasi itu, Samirah menjadi peserta JKN-KIS kelas tiga dan membayar iuran Rp 25.500 per bulannya. Dia mendaftar BPJS Kesehatan sejak 2016.
Awalnya, Samirah sempat ragu-ragu karena beredar kabar bahwa pelayanan rumah sakit yang menggunakan BPJS Kesehatan tidak maksimal.
“Tapi setelah nyoba alhamdulillah semuanya berjalan baik. Dari berobat sampai operasi tidak keluar biaya sepeser pun,” terangnya.
Baca juga: Ini Dia Faskes Paling Berkomitmen Terhadap Mutu Pelayanan JKN-KIS
Terlebih, Samirah menjalani dua kali operasi, termasuk perawatan dan pengobatan. Bila memakai uang sendiri, dia memperkirakan biayanya bisa lebih dari Rp 9 juta.
“Waktu mau operasi, kalau enggak salah kan seruangan ada 10 bed. Terus tanya orang yang di situ, pakai BPJS apa biaya sendiri, katanya sendiri, biayanya Rp 9 juta-an,” ujarnya.
Sementara itu, sebelum menjadi peserta JKN-KIS, Samirah juga sempat beberapa kali periksa ke dokter umum. Rata-rata, dia mengeluarkan biaya dari Rp 50.000 hingga Rp 70.000.
“Waktu berobat ke Banjar periksa sama tebus obat Rp 350.000, terus tes darah Rp 600.000. Ini ke dokter spesialis penyakit dalam,” ungkapnya.
Sehari-hari, Samirah berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Keluarganya mengandalkan pendapatan suaminya yang berprofesi sebagai tukang ojek konvensional.
Baca juga: Indeks Kepuasan atas BPJS Kesehatan Capai Skor 84 Persen
“Susah kalau ditanya pendapatan per bulan, per minggu, atau per hari karena tidak tentu, apalagi gara-gara corona. Kadang seminggu bisa enggak ada,” terangnya.
Untuk itu, terkadang dirinya juga turut membantu mencari uang tambahan, dengan menjadi buruh tani bila ada tetangganya yang sedang panen.