Jadi Pusat Kolaborasi Uji Tak Merusak, Batan Bisa Aplikasikan Teknologi Nuklir

Kompas.com - 10/12/2020, 19:10 WIB
Inang Sh ,
Mikhael Gewati

Tim Redaksi

Fasilitas Collaborating Centre for NDI yang ada di Batan.DOK. Humas Batan Fasilitas Collaborating Centre for NDI yang ada di Batan.

KOMPAS.com – Kepala Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR) Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Totti Tjiptosumirat mengatakan, pihaknya menjadi collaborating center (CC) di bidang non destructive diagnostic testing and investigation atau uji tak merusak.

Keperayaan ini diberikan Badan Tenaga Atom Internasional/Atomic Energy Agency (IAEA) sejak 2015 untuk wilayah asia pasifik.

Hal ini berarti Batan menjadi kepanjangan tangan IAEA sebagai pusat pembelajaran dalam mengaplikasikan teknologi nuklir untuk uji tak merusak di kawasan asia pasifik.

Totti mengatakan, pihaknya memiliki tugas tidak mudah karena harus melakukan koordinasi secara internal baik di Batan maupun di Indonesia dalam hal aplikasi teknologi nuklir untuk keperluan uji tak merusak.

Selain itu, Batan juga diminta melakukan peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) baik untuk lembaga pemerintah maupun swasta di bidang uji tak merusak dengan menggunakan teknologi nuklir.

Baca juga: Di Usia ke-62, BATAN Diharapkan Terus Berkarya dan Berinovasi di Bidang Teknologi Nuklir

“Dengan begitu, teknologi nuklir dapat termanfaatkan tidak hanya di lingkungan internal Batan, namun juga dapat dimanfaatkan masyarakat secara umum dalam meningkatkan kesejahteraan,” ujarnya pada sebuah webinar, Selasa (8/12/2020).

Totti menyebut, mengaplikasikan teknologi nuklir di bidang uji tak merusak saat ini memiliki banyak tantangan yang harus dihadapi.

Salah satunya, yaitu meyakinkan masyarakat bahwa teknologi nuklir mampu memberikan kontribusi dalam pembangunan nasional dan peningkatan ekonomi masyarakat.

Apalagi, di tengah pandemi Covid-19 ini, perekonomian di Indonesia harus dipacu untuk lebih meningkat.

“Untuk itulah Batan membuka diri kepada masyarakat untuk bekerja sama dalam pemanfaatan teknologi nuklir di bidang uji tak merusak,” ujarnya seperti keterangan tertulis yang diterima Kompas.com.

Baca juga: 5 Target Produk Radioisotop Kesehatan dari Batan, Apa saja?

Pria yang bertindak sebagai liaison officer (lo) CC uji tak merusak ini menambahkan, penetapan Batan sebagai CC uji tak merusak berlaku selama empat tahun.

“Pada 2018 BATAN diminta membuat laporan pelaksanaan CC uji tak merusak kepada IAEA dan atas laporan tersebut BATAN kembali diperpanjang sebagai CC uji tak merusak periode 2020-2024,” jelasnya.

Adapun, uji tak merusak merupakan salah satu aplikasi teknik nuklir yang dimanfaatkan untuk mengetahui kondisi sebuah peralatan atau fasilitas, apakah mengalami kerusakan atau tidak tanpa harus menghentikan proses yang sedang terjadi.

Uji tak merusak ini banyak dimanfaatkan di bidang industri, lingkungan, dan bidang lainnya.

Menurut Totti, hanya ada 41 negara di dunia yang mendapatkan kepercayaan dari IAEA untuk menjadi CC di bidang uji tak merusak dengan teknologi nuklir.

Baca juga: Batan Targetkan Pengembangan Sistem Pemantauan Zat Radioaktif Rampung 2022

“Dari 41 negara yang menjadi CC uji tak merusak ini, 33 diantaranya adalah negara anggota IAEA,” tambahnya.

Pelaksanaan CC uji tak merusak

Kepala Pusat Rekayasa Fasilitas Nuklir (PRFN) Kristedjo Kurnianto menjelaskan, sebagai salah satu unit kerja di Batan, pihaknya memberi support yang besar terhadap pelaksanaan CC uji tak merusak.

Salah satunya dengan menciptakan beberapa peralatan yang mendukung kegiatan uji tak merusak.

Hal ini dikarenakan peralatan yang digunakan untuk kegiatan uji tak merusak, khususnya yang memanfaatkan teknologi nuklir, sebagian besar merupakan produk luar negeri.

Baca juga: Pimpin PRN, Batan Gandeng Beberapa Stakeholder Kembangkan Radioisotop dan Radiofarmaka

“Maka dari itu, upaya mengembangkan peralatan ini menjadikan Indonesia lebih mandiri dalam hal pemanfaatan uji tak merusak dengan teknologi nuklir,” ucapnya.

Untuk keperluan itu, Kristedjo menuturkan, PRFN aktif menjalin kerja sama dengan pihak luar negeri dengan tujuan mendapatkan informasi terkait perkembangan pemanfaatan teknologi nuklir di bidang uji tak merusak.

Jejaring kerja sama ini juga dimanfaatkan untuk belajar dari negara lain dalam aplikasi uji tak merusak meskipun dengan metode dan objek yang berbeda.

Kristedjo menyebut, salah satu peralatan yang berhasil dikembangkan Batan adalah radioscopy.

Peralatan ini merupakan salah satu sarana untuk melakukan kegiatan uji tak merusak dengan menggunakan sinar X.

“Peralatan ini sudah dievaluasi dan diuji pakar dari IAEA dan dinyatakan bahwa peralatan yang dikembangkan Batan dapat berjalan dengan baik untuk keperluan uji tak merusak,” tambahnya.

Baca juga: Kenapa Batan Utamakan Produksi Radioisotop dari Radioaktif untuk Kesehatan?

Selain itu, Batan juga mengembangkan Computed Tomography yang banyak digunakan di dunia industri, khususnya untuk melakukan kegiatan assembly inspection yang bertujuan  mengetahui apakah terjadi kerusakan pada saat proses produksi.

Alat ini dapat pula digunakan untuk melakukan deviation analysis, yakni apakah sebuah peralatan yang diproduksi terdapat perbedaan dengan desain awalnya.

Dalam pengembangan peralatan untuk uji tak merusak secara mandiri, Kristedjo mengatakan, banyak tantangan yang harus dihadapi.

Tantangan tersebut, di antaranya kecenderungan pengguna yang lebih menggunakan produk yang sudah ada di pasaran.

“Banyak pengguna yang memiliki kecenderungan mencari barang yang mempunyai brand tertentu di pasaran,” ungkapnya.

Baca juga: Bapeten: Zat Radioaktif di Tangsel Tidak Diproduksi Batan

Adanya ketergantungan kepada vendor luar negeri juga menjadi salah satu tantangan. Sebab, hampir semua peralatan untuk kepentingan uji tak merusak di Indonesia ini merupakan produk luar negeri.

Tantangan lainnya, yakni keusangan teknologi bidang radiografi yang relatif lambat beradaptasi dengan perubahan zaman dibandingkan dengan teknologi lain.

Belum adanya pola yang terintegrasi untuk hilirisasi dan inkubasi produk pada industri di Indonesia.

“Tantangan berikutnya adalah belum adanya atau minimnya lembaga sertifikasi produk bidang radiografi digital di Indonesia di tengah era pasar bebas dan globalisasi,” tuturnya.

Agar kemandirian khususnya dalam memproduksi peralatan uji tak merusak ini terwujud, Kristedjo berharap perlu adanya sinergi dan kolaborasi stakeholders radiografi bidang industri untuk tujuan peningkatan daya saing bangsa.

Baca juga: Fakta Senyawa Radioaktif di Perumahan Batan Indah, Sengaja Dibuang dan Area Makin Luas

“Institusi riset dan promotor teknologi harus beradaptasi dengan kebutuhan pasar pengguna serta mengikuti perkembangan zaman,” harapnya.

Bagikan artikel ini melalui
Oke