KOMPAS.com - Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Anhar Riza Antariksawan mengatakan, pemerintah memerintahkan pihaknya menjadi koordinator prioritas riset nasional (PRN).
Adapun salah satu kegiatan PRN adalah pengembangan produksi radioisotop dan radiofarmaka untuk kesehatan, melalui Pusat Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka (PTRR) Batan.
Hal tersebut dilakukan karena kebutuhan radioisotop dan radiofarmaka dalam negeri semakin meningkat, khusunya untuk sektor kesehatan, yaitu penanganan, diagnosis, serta terapi penyakit kanker.
Untuk mencapai hal tersebut, PTRR pun menggandeng beberapa stakeholder antara lain PT Kimia Farma, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), serta Universitas Padjajaran.
Baca juga: Batan Targetkan Pengembangan Sistem Pemantauan Zat Radioaktif Rampung 2022
“Selama ini lebih dari 90 persen pasokan radioisotop dan radiofarmaka dalam negeri dipenuhi produk impor. Padahal, Indonesia mempunyai reaktor riset untuk memproduksi sendiri,” kata Anhar, seperti dalam keterangan tertulisnya.
Kepala PTRR Rohadi Awaludin pun menjelaskan, produksi radioisotop dan radiofarmaka harus melalui beberapa tahap, antara lain sintesis dan preparasi, peningkatan kapasitas produksi, uji praklinis jika diperlukan, serta uji klinis.
Terkait uji praklinis, Rohadi mengatakan, tidak harus dilalui semua radioisotop dan radiofarmaka. Sebab, produk tersebut merupakan hasil inovasi proses.
“ Produk hasil inovasi proses merupakan substitusi produk impor yang telah ada selama ini, sehingga tidak memerlukan uji praklinis secara lengkap. Yang diperlukan adalah uji kesetaraan dengan produk yang telah digunakan selama ini,” kata Rohadi.
Baca juga: Proses Clean Up di Batan Indah Selesai, Sisa Satu Langkah Lagi
Pada 2020, status capaian kegiatan pengembangan produksi radioisotop serta radiofarmaka berada pada tahap sintesis dan preparasi dalam skala kecil di laboratorium.
“Pada 2021 diharapkan skala pembuatan dapat ditingkatkan (peningkatan kapasitas). Selanjutnya dilakukan serangkaian pengujian untuk memastikan dapat digunakan pasien,” jelas Rohadi.
Pengembangan produksi radioisotop dan radiofarmaka sendiri akan difokuskan pada tiga produk yaitu Generator Mo-99/Tc-99m, Radiofarmaka berbasis prostate specific membrane antigen (PSMA) atau Lu-177-PSMA, dan Kit radiofarmaka Nanokoloid HSA.
Sebagai informasi, Tc-99m banyak digunakan untuk diagnosis penyakit kanker, jantung, dan ginjal.
Baca juga: Agar Aman dari Radiasi, Batan Akan Tutup Area yang Dikeruk dengan Tanah dari Luar Batan Indah
Rohadi pun mengatakan, tahun ini produk Generator Mo-99/Tc-99m telah berhasil dibuat dalam skala laboratorium.
Pada akhir tahun nanti, generator pun akan bisa diselesaikan secara utuh, untuk dilakukan serangkaian pengujian keamanan pengangkutan dan penggunaan.
Kemudian, produk Lu-177-PSMA biasa digunakan untuk diagnosis dan terapi prostat. Tak hanya itu, hasil pencitraan sebaran radiofarmakanya dapat digunakan untuk mengetahui status terakhir sebaran kanker dalam tubuh.
Tahun ini, Lu-177-PSMA telah berhasil disintesis dalam skala kecil (puluhan mCi). Kemurnian radiokimia pun telah memenuhi persyaratan yaitu lebih dari 95 persen. Namun, sisi stabilitasnya masih perlu dipastikan dalam berbagai media dan suhu.
Sementara itu, Kit radiofarmaka nanokoloid HSA berguna untuk mendiagnosis sebaran kanker ke kelenjar limfa (limfoscintigrafi), khususnya dari kanker payudara.
Baca juga: Menristek: Ini Fokus Prioritas Riset Nasional pada Rakornas PRN 2020
“Nanokoloid HSA telah disintensis dan preparasi non steril skala kecil. Hasilnya, berhasil diperoleh sesuai persyaratan, yaitu kurang dari 100 nm dengan kemurnian radiokimia hasil penandaan Tc-99m lebih dari 90 persen,” pungkasnya.
Rohadi pun berharap, ketiga produk tersebut dapat mensubstitusi impor luar negeri.
“Saat ini produk radiofarmaka berbasis PSMA mulai banyak digunakan di luar negeri, dan mempunyai potensi penggunaan yang sangat tinggi di dalam negeri,” kata Rohadi.