KOMPAS.com – Jika ada orang yang mengatakan hidup tidaklah seperti cerita dalam novel, mungkin Elmi Suzana (43) tidak menyetujuinya.
Sebab, cerita perjalanannya melakukan hemodialisa atau cuci darah selama 17 tahun memang sudah membuahkan satu novel inspiratif berjudul Titip Satu Cinta.
Ditulis oleh suami Elmi yang bekerja sebagai wiraswasta, novel tersebut terbit pada 2012.
Cerita berawal saat Elmi lulus kuliah pada 2004. Saat itu, Elmi mengalami menstruasi tiada henti selama empat bulan.
Baca juga: Ibu Ini Bersyukur JKN-KIS Tanggung Biaya Cuci Darah Suaminya
“Menstruasinya banyak sampai saya lemas, bahkan harus dirawat dan transfusi,” kata Elmi, saat dihubungi Kompas.com melalui telepon, Rabu (28/10/2020).
Elmi yang merasa kondisi itu tidak wajar, memutuskan memeriksakan diri ke beberapa dokter untuk mengetahui penyebab dan cara penyembuhannya.
Hasilnya, sebagian dokter mengatakan kondisi Elmi disebabkan kelebihan hormon, sedangkan sebagian lagi menyatakan hal tersebut disebabkan faktor stres.
Untuk menyembuhkannya, Elmi pun disarankan menjalani kuret. Namun, karena saat itu Elmi masih gadis, kuret tak dilakukan.
Baca juga: Penderita Gagal Ginjal Ini Gratis Cuci Darah Dua Kali Seminggu berkat Jaminan BPJS Kesehatan
“Harusnya dikuret, diangkat, dibersihkan, tapi waktu itu saya masih gadis, katanya di etika kedokteran enggak boleh,” kata Elmi.
Setelah itu, untuk menghentikan menstruasinya, Elmi pun mengonsumsi banyak obat. Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil baik, dan justru menyerang organ ginjalnya.
Tercatat, hemoglobin (hb) darah Elmi berada di bawah batas normal 12-16 gram per desiliter (g/dl).
“Tiba-tiba saya koma, lalu dibawa ke intensive care unit (ICU). Waktu itu hemoglobin saya dua. Pas itulah dokter bilang kalau saya harus menjalani cuci darah,” kata Elmi.
Baca juga: Cuci Darah: Pengertian, Proses, Efek Samping
Elmi melanjutkan, kalau tidak cuci darah, maka racun di dalam tubuhnya akan menjalar ke otak. Padahal, sebelumnya dia tidak ada masalah sedikit pun di ginjal.
Saat divonis harus rutin menjalani hemodialisa, pada diri Elmi terbesit rasa khawatir akan karier masa depannya. Belum lagi konsekuensi dari perawatan hemodialisa yang harus dijalaninya sejak gadis membuatnya tidak bisa mengandung anak.
Namun pada kondisi itu, Elmi tetap berusaha optimis dan berdoa agar penyakit tersebut membawa hikmah, berkah, manfaat, serta membuatnya menjadi orang yang lebih bersyukur.
Setelah koma selama dua hari dan dirawat di ICU selama tiga minggu, perempuan asal Sumatera Barat (Sumbar) yang sejak kecil tinggal di Jakarta ini, menjalani hemodialisa pertamanya di Rumah Sakit ( RS) Fatmawati Jakarta.
Baca juga: Hentikan Cuci Darah pada Pasien Ginjal Kronis Bisa Sebabkan Kematian
Sejak itu, Elmi rutin menjalani hemodialisa tiga kali dalam seminggu untuk mengeluarkan cairan yang dikonsumsi. Namun karena pasien di RS Fatmawati membludak, dia melanjutkan perawatan di RS Harapan Bunda Jakarta.
Masalah pun tak berhenti di sana. Karena keterbatasan biaya, beberapa kali Elmi harus menunda menjalani hemodialisa. Akibatnya, beberapa bagian tubuh Elmi mengalami bengkak.
Sebagai informasi, saat itu hemodialisa memakan biaya sekitar Rp 750.000 hingga Rp 850.000. Elmi pun melakukan berbagai cara untuk mengusahakan biaya yang tak sedikit itu.
“Kalau lagi ada uangnya, saya berangkat. Kalau enggak ada ya enggak berangkat. Dokter pun sudah mengerti. Makanya dulu kaki sama perut saya suka bengkak kaya orang hamil,” kata Elmi.
Baca juga: Benny Likumahuwa Jalani Cuci Darah sejak 2018
Syukur, hal tersebut tidak berlangsung selamanya. Sebab setelah ada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ( BPJS) Kesehatan, Elmi langsung mendaftarkan diri.
Dengan begitu, biaya hemodialisanya di-cover 100 persen melalui program Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
“Sekarang saya sudah jadi peserta JKN-KIS kelas I. Alhamdulillah terbantu. Awalnya saya terdaftar keluarga miskin (Gakin), setelah itu bikin jaminan kesehatan daerah (Jamkesda), lalu keluarlah BPJS. Saya otomatis terdaftar,” kata Elmi.
Kini, perempuan yang ikut suaminya tinggal di Bogor itu menjalani hemodialisa dua kali dalam seminggu, di RS Palang Merah Indonesia (PMI) Bogor. Elmi pun mengaku puas terhadap layanan BPJS Kesehatan.
Baca juga: RS Darurat Covid-19 di Simprug Beroperasi, Juga Layani Ibu Hamil dan Cuci Darah
“Menurut saya pelayanannya baik, seneng-seneng aja. Asal kita mau jalani dan tertib,” kata Elmi.