Biodiesel Berbasis Sawit Jadi Komoditas Unggulan Ekspor Indonesia

Kompas.com - 03/06/2024, 18:40 WIB
Nethania Simanjuntak,
A P Sari

Tim Redaksi

Foto IlustrasiPhoto by freepik Foto Ilustrasi

KOMPAS.com - Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang dalam pengembangan biodiesel, khususnya biodiesel kelapa sawit. Melalui sejarah yang panjang tersebut, Indonesia berhasil menjadi produsen biofuel terbesar di dunia.

Pada awal pengembangan, tepatnya pada 2009, produksi biodiesel baru (B2,5) mencapai 190.000 kiloliter (kL) (B2,5) dan meningkat secara bertahap seiring dengan peningkatan blending rate (B10) pada 2014, yakni dengan volume produksi sebesar 3,96 juta kL.

Volume produksi biodiesel mengalami penurunan hampir 50 persen menjadi 1,65 juta kL pada 2015. Hal ini disebabkan harga biodiesel saat itu lebih tinggi dibandingkan minyak diesel atau solar.

Selain itu, subsidi bahan bakar nabati (BBN) yang dijadwalkan diberikan hingga 2015, harus dicabut sebagai implikasi dari besarnya defisit perdagangan Indonesia. Kondisi ini menjadi dilema bagi kelanjutan industri biodiesel Indonesia.

Baca juga: BPDPKS Terima Award Kemitraan UKMK dan Petani Sawit Milenial dari Aspekpir

Ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit menjadi titik terang untuk melanjutkan program mandatori biodiesel di Indonesia.

“Regulasi tersebut memberikan peluang untuk memanfaatkan dana sawit hasil pungutan ekspor produk sawit untuk insentif pengembangan biodiesel,” ujar Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung dalam artikel berjudul Biodiesel Indonesia: Produksi, Konsumsi dan Ekspor (2024).

Menurut Tungkot, insentif biodiesel tersebut berhasil meningkatkan bleeding rate dan produksi biodiesel Indonesia yang sebelumnya di tahun 2016 mencapai 3,66 juta kL (B20 pada sektor public service obligation/PSO)) menjadi 6,17 juta kL (B20 sektor PSO dan non-PSO) pada 2018.

“Volume produksi biodiesel juga terus meningkat pada implementasi mandatori B30, yakni 8,59 juta kL pada 2020 menjadi 8,98 juta kL pada 2021 dan 11,81 juta kL pada 2022,” ucap Tungkot dalam keterangan persnya, Jumat (31/5/2024).

Baca juga: Ini Alasan BPDPKS Belum Bayarkan Utang Minyak Goreng ke Pengusaha

Tungkot mengatakan, dengan diimplementasikan kebijakan mandatori B35 pada awal Februari, pemerintah menargetkan alokasi volume biodiesel tahun 2023 sebesar 13,15 juta kL.

Lebih lanjut, kata dia, biodiesel yang dihasilkan perusahaan produsen dari Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BU BBN) sebagian besar dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Ia menyebut, biodiesel tersebut didistribusikan kepada Pertamina selaku Badan Usaha Bahan Bakar Minyak (BU BBM), sehingga konsumsi biodiesel dalam negeri mengalami peningkatan menjadi 10,42 juta kL pada 2022 yang sebelumnya hanya mencapai 119.000 kL pada 2009.

Tungkot mengungkapkan bahwa proporsi konsumsi biodiesel di dalam negeri terhadap produksi juga mengalami peningkatan. Misalnya pada 2009, sekitar 63 persen produksi biodiesel digunakan untuk konsumsi domestik.

Baca juga: BPDPKS Gelar Audiensi dengan Gapki, Bahas Riset dan Pengembangan Industri Kelapa Sawit

“Proporsi tersebut terus meningkat hingga pernah mencapai 98 persen untuk konsumsi domestik pada 2020. Namun, konsumsi biodiesel domestik juga pernah mencapai sekitar 20 persen dari produksinya pada 2011,” ucap Tungkot.

Hal yang menarik dari penggunaan biodiesel di dalam negeri terjadi saat keberlangsungan program mandatory biodiesel B30 di tengah masa pandemi Covid-19 yang sempat diragukan oleh beberapa pihak.

Tungkot mengungkapkan, kebijakan lockdown dan restriksi aktivitas sosial-ekonomi yang berlaku di Indonesia menyebabkan konsumsi biodiesel mengalami penurunan.

“Meskipun secara volume konsumsi tetap mengalami peningkatan dibandingkan periode sebelumnya, tetapi target penyaluran biodiesel B30 yang telah ditentukan pada awal tahun, jauh dari realisasi,” ucap Tungkot.

Baca juga: Direktur BPDPKS Sunari Dukung Produksi Minyak Sawit Berkelanjutan

Meskipun demikian, Pemerintah Indonesia tetap berpegang teguh untuk menjalankan target bauran energi dengan kembali melanjutkan program mandatori biodiesel B30 sepanjang tahun 2020 hingga terus berlanjut pada 2021 dan 2022.

Selain diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi domestik guna mewujudkan ketahanan energi nasional, Indonesia juga mengekspor biodiesel untuk memenuhi kebutuhan negara importir atas produk renewable energy yang rendah emisi. Ekspor biodiesel juga menjadi salah satu sumber devisa bagi Indonesia.

Selama periode 2009-2022, volume ekspor biodiesel indonesia relatif berfluktuatif, tetapi masih menunjukkan pertumbuhan positif, salah satunya dengan mengalami peningkatan dari 70.000 kL menjadi 419.000 kL.

Adapun pada periode 2011-2014, Tungkot menyebutkan bawah ekspor biodiesel Indonesia menunjukkan good performance dengan volume ekspor biodiesel yang relatif tinggi.

Baca juga: BPDPKS Raih Penghargaan dari Kemenkeu dan Ramaikan Kegiatan BLU 2023

Namun, pada 2015-2017, ekspor biodiesel Indonesia menurun signifikan. Menurutnya, penurunan ini diakibatkan karena dampak dari tuduhan anti-dumping dari Uni Eropa terhadap biodiesel Indonesia.

Sebagai informasi, Uni Eropa mengenakan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) dengan tarif yang tinggi berkisar 8,8-23,3 persen sejak November 2013.

“Ini akibatnya dapat menghambat impor biodiesel Indonesia ke pasar Uni Eropa. Kondisi ini juga mengurangi insentif eksportir biodiesel Indonesia,” tuturnya.

Pada 2018-2019, volume ekspor biodiesel Indonesia kembali menunjukkan peningkatan. Pertumbuhan positif tersebut merupakan dampak atas kemenangan Indonesia dalam gugatan tingkat banding di Mahkamah Uni Eropa pada kasus Bea Masuk Anti-Damping (BMAD) untuk biodiesel Indonesia.

Baca juga: Gandeng BPDPKS, AII Hilirisasi 13 Teknologi Hasil Riset GRS

“Dengan kemenangan tersebut, Uni Eropa harus menghapus tarif BMAD yang artinya juga menghapus hambatan impor. Hal ini kembali mendorong peningkatan volume ekspor biodiesel Indonesia,” kata Tungkot.

Tungkot mengatakan, Uni Eropa merupakan tujuan utama ekspor biodiesel Indonesia selama periode 2012-2022.

“Uni Eropa memiliki restriksi perdagangan terhadap biodiesel sawit Indonesia dengan menerbitkan berbagai kebijakan yang menghambat perdagangan biodiesel, seperti BMAD, RED II ILUC. Namun, pangsa ekspor Indonesia ke negara tersebut relatif tinggi, yakni mencapai 40 persen,” ujarnya

Selain Uni Eropa, Tungkot juga menyebut, negara tujuan ekspor biodiesel Indonesia lainnya, yakni China yang mencapai 29 persen, Amerika Serikat 11 persen, Malaysia 9 persen, dan Singapura 6 persen.

Baca juga: Riau Jadi Daerah Penghasil Sawit Terbesar, Gubri Minta BPDPKS Lebih Transparan soal Pengelolaan Dana Sawit

Sementara itu, Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) menilai, potensi hilirisasi biofuel dalam beberapa tahun mendatang semakin terbuka lebar. Apalagi, kebutuhan energi akan selalu meningkat sebagai kebutuhan utama selain pangan.

Melihat potensi ini, sejumlah perusahaan hulu sawit mulai melirik untuk menjajaki bisnis hilirisasi biofuel. Industri biodiesel sebagai salah satu produk turunan biofuel telah dimulai sejak 2005.

Hingga saat ini, biodiesel berkontribusi sebesar 30 persen pada solar. Pada Februari 2023, kontribusi biodiesel meningkat menjadi 35 persen pada solar.

Untuk itu, Aprobi menegaskan bahwa pihaknya siap untuk memasok biodiesel dengan kualitas serta volume sesuai dengan ketentuan.

Bagikan artikel ini melalui
Oke