KOMPAS.com – Semua unsur pemerintah bertekad mempercepat program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Sebab, sejak dicanangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2016, program yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) ini belum pernah tercapai.
Pemerintah menargetkan program PSR bisa mencapai 180.000 hektar (ha) setiap tahun. Namun, rata-rata realisasi program tersebut sekitar 50.000 ha. Tumpang tindih lahan sawit yang masuk kawasan hutan menjadi salah satu penyebab rendahnya pencapaian program PSR.
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, program replanting sawit masih belum berjalan maksimal. Bahkan, realisasi replanting saat ini baru mencapai 331.007 ha sejak pertama diluncurkan.
Padahal, peremajaan sawit rakyat memiliki target luasan 180.000 ha setiap tahunnya di 21 provinsi sentra penghasil kelapa sawit.
“Ini kurang dari 30 persen dari target yang waktu itu dicanangkan presiden sebesar 180.000 ha per tahun,” kata Airlangga dalam siaran pers, Jumat (31/5/2024).
Baca juga: Panen Ganda Kelapa Sawit dan Padi Gogo, Program PSR dan Kesatria Untungkan Petani
Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman mengatakan, masalah tumpang tindih lahan yang masuk di kawasan hutan akan diselesaikan melalui program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
Setelah dibebaskan, pekebun dapat mengajukan persyaratan PSR dan mendapatkan pendanaan dari BPDPKS.
“Perkebunan kelapa sawit rakyat yang berada di kawasan hutan akan diselesaikan dalam program TORA dan telah disepakati bisa ikut serta program peremajaan sawit rakyat dengan dukungan dana BPDPKS,” katanya.
Dia mengatakan itu dalam Rakor Rencana Aksi Nasional Perkebunan Sawit Berkelanjutan (RAN KSB) beberapa waktu lalu.
"Langkah itu dilakukan guna mempercepat pencapaian target program PSR seluas 180.000 ha per tahun," ucapnya.
Baca juga: Dukung Program PSR, AHY Pastikan Legalisasi Aset Petani Sawit
Upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah menyederhanakan persyaratan pengajuan program PSR melalui revisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 3 Tahun 2022.
“Dengan penyempurnaan Permentan Nomor 3 Tahun 2022, jangka waktu untuk penyelesaian pemberian perizinan dan persetujuan PSR bisa dipercepat hanya 15 hari saja,” jelasnya.
Pemerintah juga memutuskan untuk menaikkan pendanaan PSR menjadi Rp 60 juta per ha dari sebelumnya hanya Rp 30 juta per ha.
Eddy mengakui, kecilnya pendanaan PSR menjadi kendala yang membuat pekebun enggan melaksanakan program tersebut.
Pasalnya, anggaran Rp 30 juta yang diberikan BPDPKS tidak bisa menutup seluruh biaya peremajaan sawit sampai sawit tersebut kembali menghasilkan.
Baca juga: Kabar Baik, Dana PSR Naik 2 Kali Lipat Jadi Rp 60 Juta
“Pendanaan program PSR yang saat ini ditetapkan sebesar Rp 30 juta hanya cukup memberikan dukungan peremajaan sampai bibit ditanam,” jelasnya.
Eddy mengatakan, kebijakan menaikkan dana membuktikan pemerintah mendengarkan suara dan menjawab kegalauan pekebun. Keputusan ini didasarkan pada kajian akademis dan komunikasi langsung dengan para pekebun sawit.
Eddy juga mengatakan, para petani sawit yang mendapatkan bantuan program PSR mengaku kesulitan bila bantuan hanya Rp 30 juta per ha.
Sebab, biaya itu hanya cukup untuk digunakan operasional selama setahun, sedangkan buah sawit baru bisa dipanen selama empat tahun.
Penambahan dana bantuan itu juga diharapkan bisa menambah pendapatan petani, termasuk untuk modal melakukan penanaman tanaman sela sambil menunggu hasil sawit.
Baca juga: Pola Kemitraan, Strategi Jitu Kementan Akselerasi PSR dan Kesejahteraan Pekebun
Lebih lanjut, Eddy mengatakan, program PSR merupakan inisiatif penting yang bertujuan meningkatkan produktivitas perkebunan milik petani kecil.
“Tujuan utama program ini adalah meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani kecil, sambil memanfaatkan sekitar 2 juta ha lahan perkebunan yang potensial," katanya.
Ia mengemukakan, program tersebut telah mencapai kemajuan signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Kemudian, dana sebesar Rp 8,5 triliun telah didistribusikan untuk lebih dari 306.000 ha lahan dan memberikan manfaat kepada lebih dari 134.000 petani kecil.
Program PSR kali ini membuat lebih dari 200.000 ha lahan sudah ditanami kembali dan lebih dari 100.000 ha dalam proses pembersihan lahan.
Baca juga: Pola Kemitraan, Strategi Jitu Kementan Akselerasi PSR dan Kesejahteraan Pekebun
“Program ini tidak hanya mengatasi kesenjangan finansial, tetapi juga mempermudah akses petani ke pasar,” ujarnya.
Eddy juga menyampaikan, kerja sama dengan berbagai pemangku kebijakan, seperti kementerian, pemerintah daerah, koperasi, dan perusahaan swasta, menjadi bagian penting dalam pelaksanaan program PSR.
“Keberlanjutan program ini menjadi hal yang mendesak. Peserta program diimbau memperoleh sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) pada saat panen pertama kali,” jelasnya.
Menanggapi soal peningkatan dana PSR, Direktur Jenderal Perkebunan (Dirjenbun) Andi Nur Alam Syah mengatakan, hal itu dapat menjadi solusi tepat untuk menenangkan hati para pekebun kelapa sawit.
Sebab, saat ini, mereka sedang menghadapi berbagai tantangan dan dinamika akselerasi pencapaian target PSR.
Baca juga: Target PSR Terancam, Banyak Pengembang Hijrah Bangun Rumah Komersial
“Pemerintah tentu hadir dan terus mencari solusi tepat guna demi memperkuat industri sawit dan kebun rakyat,” ujarnya.
Andi mengatakan, program tersebut harus dilakukan bersama-sama dengan bersinergi demi meningkatkan perkelapasawitan Indonesia dan kesejahteraan pekebun sawit ke depan.
Hal itu juga sejalan dengan ketentuan Pasal 11 ayat (3) Peraturan Presiden (PP) Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
PP tersebut menyebutkan, badan pengelola menetapkan prioritas penggunaan dana dengan memperhatikan program pemerintah dan kebijakan komite pengarah.
“Semoga, ke depan realisasi PSR semakin meningkat. Pemerintah hadir untuk pekebun, terus berupaya melindungi, mempermudah dan memperlancar, bukan menghambat,” kata Andi Nur.
Andi Nur mengatakan, implementasi di lapangan tak dapat dimungkiri menemui banyak tantangan.
Baca juga: Target PSR Terancam, Banyak Pengembang Hijrah Bangun Rumah Komersial
“Untuk itu, semua pihak perlu bekerja sama, bersinergi, dan berkolaborasi secara terintegrasi dengan berdasarkan asas kepastian, kemanfaatan, dan keadilan (3K),” ucapnya.
Dia berharap, penambahan dana bantuan itu bisa mengurangi beban pembiayaan pekebun sampai tanaman sawit menghasilkan.
Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perusahaan Inti Rakyat (Aspekpir) Setiyono menyambut baik kebijakan pemerintah yang menaikkan besaran pemberian bantuan dana PSR.
Dia menilai, hal tersebut merupakan wujud nyata pemerintah hadir bagi pekebun rakyat.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung menilai, langkah tersebut merupakan kabar gembira bagi para pekebun.
“Dengan ditambahnya dana PSR, pastinya dapat bermanfaat secara signifikan bagi para pekebun rakyat,” katanya.
Baca juga: Sawit Jadi Komoditas Penting, Gapki Didorong Wapres Dukung Program PSR
Menurutnya, penambahan bantuan dana PSR harus dilakukan sebagai bentuk keberpihakan kepada pekebun rakyat.
“Ini demi memperkuat produksi dan produktivitas tanaman kelapa sawit rakyat guna menjaga luasan lahan dan keberlanjutan usaha perkebunan kelapa sawit rakyat,” ujar Gulat.
Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) juga mendukung kebijakan pemerintah yang menaikkan dana PSR. Sebelumnya, keberadaan program PSR telah menjadi bagian dari kemajuan sawit rakyat.
Ketua Umum SPKS Sabarudin mengatakan, dukungan pemerintah dibutuhkan guna membangun keadilan bagi rakyat Indonesia untuk peningkatan produktivitas dan peningkatan pendapatan petani sawit skala kecil.
“Melalui program PSR, keberadaan perkebunan kelapa sawit milik petani menjadi roda ekonomi rakyat di perdesaan,” ujarnya.
Selain itu, kebijakan legalitas lahan petani kelapa sawit di Indonesia harus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah karena legalitas lahan masih mendapat banyak kendala.
Baca juga: BPDPKS Gelar Audiensi dengan Gapki, Bahas Riset dan Pengembangan Industri Kelapa Sawit
Sabarudin menilai, legalitas lahan hingga saat ini masih menjadi momok menakutkan bagi petani kelapa sawit di Indonesia.
Oleh sebab itu, koordinasi Menko Perekonomian dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menjadi harapan baru agar mereka memiliki sertifikat hak milik (SHM).