Era Disrupsi, MA Berkomitmen Hadirkan Layanan Peradilan Digital bagi Masyarakat

Kompas.com - 26/09/2023, 10:38 WIB
A P Sari

Penulis

Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Sobandi.DOK. Mahkamah Agung Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Sobandi.

KOMPAS.com - Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung ( MA) Sobandi mengatakan, pihaknya sudah melaksanakan transformasi digital selama sepuluh tahun terakhir. Berbagai layanan digital dihadirkan untuk memudahkan masyarakat mengakses layanan pengadilan.

"Sebut saja e-Court dan e-Berpadu yang disediakan oleh MA bagi masyarakat untuk mengakses keadilan kapan dan di mana saja dengan biaya murah. Pimpinan MA memberikan apresiasi atas perubahan tersebut seraya 'bermimpi' kiranya akan terjadi pula perubahan pada budaya kerja dari seluruh aparatur peradilan," tutur Sobandi melalui keterangan persnya, Senin (25/9/2023).

Oleh karenanya, sebut dia, bisa dikatakan bahwa MA telah berhasil menjadikan lembaga peradilan sebagai epicentrum of justice atau tempat idaman di mana masyarakat bisa mencari keadilan.

"Ketua MA saat ini, Syarifuddin, meminta seluruh aparatur peradilan untuk berlomba-lomba menciptakan inovasi pelayanan berbasis teknologi informasi (TI) yang bermanfaat bagi masyarakat. 'Berkreasilah, ciptakan yang terbaik. Jika inovasi itu bagus dan bermanfaat, bisa dijadikan aplikasi nasional', begitu pesan Beliau," jelas Soebandi.

Baca juga: Syarat, Formasi, dan Cara Daftar CPNS Mahkamah Agung 2023

Ia menilai, TI memberikan kemudahan hampir di semua sektor kehidupan, salah satunya industri atau usaha. TI bahkan berhasil memudahkan birokrasi pemerintahan menjadi lebih efisien dan sederhana.

Kemudahan akibat TI itu, disebut Sobandi, merupakan wajah baru ilmu pengetahuan dunia yang bisa menerka disrupsi serta kebutuhan-kebutuhan masa mendatang secara akurat.

"Pertanyaannya, apakah MA dapat menerka apa kebutuhan masyarakat dalam dunia peradilan di masa depan dan bagaimana cara untuk memenuhinya?" tutur dia.

Sobandi menjelaskan, era disrupsi terjadi ketika banyak perubahan terjadi karena banyaknya inovasi hebat yang merubah sistem dan tatanan kehidupan masyarakat secara luas.

Kata disrupsi pertama kali diperkenalkan oleh Clayton Christensen melalui bukunya yang berjudul The Innovator’s Dilemma (1971).

Baca juga: 15 Jurusan S1 Paling Dicari CPNS 2023 Mahkamah Agung

Kemudian, Rhenald Kasali menulis buku Disruption: Menghadapi Lawan-Lawan Tak Kelihatan dalam Peradaban Uber (2017) yang menjelaskan bahwa disrupsi merupakan sebuah teori untuk memprediksi masa depan, ketika hal-hal baru mengubah hal-hal lama menjadi kuno.

"Perubahan yang begitu cepat melahirkan berbagai terobosan di banyak bidang, yang memberikan solusi efektif dan ekonomis bagi permasalahan yang dihadapi oleh banyak orang," jelas Sobandi.

Dalam buku yang ditulis Kasali, sebut dia, terdapat contoh mengenai perubahan bisnis transportasi setelah lahirnya Uber. Inovasi ini dianggap mampu menjawab kebutuhan transportasi banyak orang.

"Model bisnisnya adalah menggunakan aplikasi yang memangkas banyak biaya, sehingga harga produk dan jasa menjadi lebih murah. Sebuah pasar baru dari masyarakat kelas bawah pun mulai terbentuk harga lebih murah dan kualitas yang tidak kalah baik," jelasnya.

Baca juga: Mahkamah Agung Meksiko Tolak Kriminalisasi Aborsi

Sobandi pun mencontohkan, GoJek sebagai salah satu startup mampu melayani kebutuhan calon penumpangnya yang tersebar luas. Layanan yang ditawarkan pun beragam, mulai dari pesan-antar makanan, jasa pijat, jasa pindahan, dan lain-lain.

Meski demikian, kehadiran GoJek mendisrupsi ojek pangkalan (opang) yang telah eksis selama bertahun-tahun lamanya.

"(Sama halnya) dengan Grab yang mendisrupsi keberadaan perusahaan-perusahan taksi dan mampu melemahkan perusahaan sekelas Bluebird," tutur dia.

Kemudian, di bidang perdagangan barang, Tokopedia dan Shopee berhasil menyediakan lahan untuk para pemasok kecil dan melayani semua kebutuhan konsumen yang sudah mulai terbiasa berbelanja secara online.

"(Kondisi ini) kemudian menyebabkan supermarket konvensional terdisrupsi. Pasar lainnya adalah perubahan telegraf menjadi telepon, menjadi ponsel, kemudian menjadi smartphone," lanjutnya.

Baca juga: CPNS Mahkamah Agung 2023: Perincian Formasi dan Syarat Pendidikan

Disrupsi bidang peradilan

Perubahan masif mulai terasa sejak munculnya revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan kemajuan teknologi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam buku berjudul Disruptive Technology: Effect of Technology Regulation on Democracy (2006) yang ditulis Mathias Klang, Cowan Schwartz menjelaskan, disrupsi teknologi akan berdampak terhadap keadaan sosial yang ada di sekitarnya.

"Disrupsi teknologi menuntut manusia untuk segera beradaptasi, agar tidak tertinggal oleh perubahan yang terjadi sedemikian cepat. Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan telah meminta kementerian dan lembaga negara untuk bersiap menghadapi disrupsi dengan menciptakan berbagai inovasi," tutur Sobandi.

Presiden Jokowi, sebutnya, meminta adanya reformasi birokrasi pemerintahan. Kemajuan teknologi diharuskan bisa mewujudkan pemerintahan yang bersih, akuntabel, dan efisien.

Baca juga: Beredar SK Kebutuhan CPNS Mahkamah Agung 2023, Ini Perincian Formasi dan Kualifikasi Pendidikannya

Sobandi melanjutkan, MA sebagai pengadilan negara tertinggi berperan besar dalam menciptakan inovasi yang menjawab kebutuhan masyarakat.

Sejak 2018, MA mengeluarkan kebijakan administrasi perkara di pengadilan secara elektronik dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 yang kemudian disempurnakan melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik.

"Perma itu kemudian diubah lewat Perma Nomor 7 Tahun 2022. Tujuannya adalah untuk memenuhi azas peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan. Perma ini merupakan landasan dari implementasi aplikasi e-Court di dunia peradilan Indonesia," jelasnya.

e-Court, sebut dia, adalah instrumen pengadilan yang diciptakan sebagai bentuk pelayanan terhadap masyarakat. Lewat inovasi ini, masyarakat bisa melakukan pendaftaran online (e-filing), taksiran dan pembayaran panjar biaya online (e-payment), pemanggilan online (e-summons), dan persidangan online (e-litigation).

Baca juga: Windy Idol Kembali Diperiksa KPK Terkait Dugaan Suap di Mahkamah Agung

"Keberadaan aplikasi e-Court diharapkan dapat dirasakan oleh masyarakat. Pelayanan terkait perkara yang dilakukan secara online tentunya dapat menghemat waktu dan biaya para pencari keadilan," sebutnya.

Ia pin mencontohkan peran juru sita pengadilan yang dahulu menggunakan panggilan dan pemberitahuan putusan. Kini mereka bisa menggunakan e-summons, sehingga pos bisa langsung tercatat dengan biaya yang murah.

Inovasi berikutnya adalah Elektronik Berkas Pidana Terpadu yang disingkat e-BERPADU melalui kebijakan Perma Nomor 8 Tahun 2022. Aplikasi ini dilengkapi sejumlah layanan, mulai dari pelimpahan berkas perkara pidana secara elektronik, permohonan izin/persetujuan penyitaan secara elektronik, dan permohonan izin/persetujuan penggeledahan secara elektronik.

Kemudian, ada perpanjangan penahanan secara elektronik, permohonan pembantaran penahanan secara elektronik, permohonan penangguhan secara elektronik, permohonan izin besuk tahanan secara elektronik, permohonan pinjam pakai barang bukti secara elektronik, permohonan penetapan diversi secara elektronik, serta persidangan perkara pidana secara elektronik.

Baca juga: Mahkamah Agung Tolak Kasasi Mardani Maming

e-BERPADU bertujuan membantu dan memberikan kemudahan bagi pelaksanaan tugas pengadilan dan aparat penegak hukum terkait, sehingga proses peradilan bisa dilakukan secara lebih cepat dan efisien.

"Aplikasi e- BERPADU tidak hanya digunakan dan dimanfaatkan oleh MA, tetapi juga penyidik kepolisian, kejaksaan, KPK, dan penyidik lain, seperti BNN atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), penuntut umum kejaksaan dan KPK, Lembaga Pemasyarakatan (LP)/Rumah Tahanan (Rutan), terdakwa atau keluarganya, advokat dan masyarakat umum lainnya," jelas Sobandi.

Kemudian ada inovasi Smart Majelis, aplikasi robotika berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) untuk memilih majelis hakim secara otomatis.

Prosesnya dilakukan dengan menggunakan berbagai faktor, antara lain pengalaman, kompetensi, hingga beban kerja hakim.

"(Smart Majelis) mempertimbangkan jenis perkara yang akan diadili agar para hakim yang dipilih memiliki keahlian yang sesuai dengan perkara yang ditangani," lanjutnya.

Baca juga: Mengaku PNS Mahkamah Agung, Pria Ini Tipu Warga Yogyakarta Rp 47 Juta

Inovasi selanjutnya adalah Court Lives Streaming, yakni aplikasi yang memungkinkan masyarakat untuk menyaksikan pembacaan amar putusan kasasi dan peninjauan kembali secara langsung melalui live streaming.

Faktor pendukung disrupsi peradilan

Sobandi menilai, terdapat beberapa faktor penting yang menjadi pendorong terjadinya disrupsi. Pertama, pemimpin yang open minded atau berpikiran terbuka.

"Seperti yang dikatakan Steve Jobs, 'kalau perekonomian masih tumbuh sementara usaha Anda mengalami kemunduran, itu pertanda ada lawan-lawan baru yang tak terlihat. Temukanlah, gunakan ilmunya untuk menciptakan sesuatu yang baru'," ujarnya.

Kedua, operator atau pelaksana yang memiliki milenial new mindset. Peter Drucker menilai bahwa teknologi baru yang digabungkan dengan pola pikir lama tidak akan berhasil.

Menurut Sobandi, gelombang ketiga atau era milenial sebuah komunitas global elektronik yang membantu manusia menjangkau segala asa dan informasi tanpa batas.

Baca juga: Kasasi Rezky Aditya Ditolak Mahkamah Agung, Statusnya Sebagai Ayah Biologis Anak Wenny Ariani Semakin Kuat

Ketiga, kebijakan atau regulasi yang mendukung disrupsi. Mark Zuckerberg mengatakan, "sukses pada kemampuan menyelaraskan iteration atau membuat hal kama menjadi lebih baik, innovation atau membuat hal-hal baru, dan disruption atau membuat banyak hal baru sehingga hal-hal kama menjadi ketinggalan, kuno, dan tidak terpakai."

"Keempat, konsumen atau masyarakat. Pemimpin dan operator atau pelaksana harus memahami apa yang disebut pain (penderitaan) dan gain (manfaat yang dicari) dan kelima sarana prasarana TI yang mumpuni," sambung Sobandi.

Dia mengatakan, keluhan yang dialami pengacara kondang Hotman Paris ketika menunggu jadwal persidangan yang memakan waktu berjam-jam terjawab dengan adanya e-litigation.

"Beliau tidak harus datang ke pengadilan hanya untuk menyerahkan surat jawaban atas gugatan," tuturnya.

Baca juga: KPK Duga Sekretaris Mahkamah Agung Nikmati Uang Suap Miliaran Rupiah

Sobandi mengatakan, apabila kelima faktor tersebut diaplikasikan pada disrupsi di MA, faktor dua menjadi kendala utama yang harus dihadapi. Pasalnya, infrastruktur TI di MA tidak bisa berjalan baik tanpa operator, yakni sumber daya manusia (SDM) yang cakap dan menguasai teknologi.

"Kebutuhan SDM juga bersifat full time, mengingat layanan peradilan dapat terjadi kapan dan di mana saja selama berlakunya jam kerja pengadilan," imbuhnya.

Dia melanjutkan, WKMA Bidang Yudisial sekaligus Pelaksana Tugas (Plt) WKMA Bidang Nonyudisial Sunarto berpesan bahwa manusia dan teknologi berjalan beriringan pada era revolusi industri 5.0 atau society 5.0.

Hakim asal Belanda, Dory Reiling mengatakan, AI mampu membantu individu, pihak yang berperkara, dan hakim dalam mengatur informasi. Namun, AI tidak dapat menggantikan hakim karena teknologi ini hanya membantu memberikan nasihat dan saran saja.

Baca juga: KPK Sebut Penahanan Sekretaris Mahkamah Agung Tinggal Menunggu Waktu

"Dalam menghadapi disrupsi, hakim dan aparatur peradilan selaku operator atau pelaksana tidak boleh meninggalkan 10 prinsip pedoman perilaku hakim, yaitu adil, jujur, arif bijaksana, mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, dan profesional," jelas Sobandi.

Selain itu, lanjutnya, mereka juga tidak boleh meninggalkan tujuh nilai utama peradilan, yaitu kemandirian kekuasaan kehakiman, integritas dan kejujuran, akuntabilitas, responsibilitas, keterbukaan, ketidakberpihakan, dan perlakuan yang sama dihadapan hukum.

"Untuk menjaga agar hakim dan aparatur peradilan memegang teguh dan mengamalkan 10 prinsip dan 7 nilai utama tersebut, harus diperhatikan faktor keamanan dan kesejahteraan mereka agar tidak terancam atau tergoda oleh kekuasaan lain, seperti suap, gratifikasi dan lain-lain," lanjutnya.

Ia pun meminta setiap pihak untuk khawatir akan jaminan keamanan hakim dan aparat peradilan yang tidak memadai. Salah satunya adalah gaji pokok yang tidak mengalami kenaikan serta minimnya fasilitas keamanan dan kesejahteraan bagi hakim.

Baca juga: Hakim PN Jaksel dan PT DKI yang Tangani Kasus AG Juga Dilaporkan ke Mahkamah Agung

"Sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2012, (kebutuhan hakim) belum dipenuhi semua. Kebijakan MA tentang Pedoman Pemberian Jaminan Kesehatan Bagi Hakim pada Empat Lingkungan Peradilan yang Berada di Bawah Mahkamah Agung dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 184/KMA/SK.KP5.2/IX/2023 yang ditindaklanjuti oleh Sekretaris Mahkamah Agung menjadi harapan kesejahteraan baru bagi para hakim," jelas Sobandi.

Ia melanjutkan, selain faktor keamanan dan kesejahteraan, SDM yang berminat membangun MA menjadi faktor penentu adanya disrupsi peradilan di Indonesia. Sebab, selama ini, proses rekrutmen hakim belum memiliki mekanisme yang jelas.

"Terakhir pada 2017 dengan mekanisme rekrutmen calon hakim, kemudian pada 2019 mekanisme melalui rekrutmen Analis Perkara Peradilan (APP) yang sampai saat ini belum diseleksi menjadi calon hakim. MA harus segera mendorong peraturan presiden tentang seleksi calon hakim diterbitkan," tambahnya.

Kesungguhan transformasi administrasi dan persidangan

Sobandi menjelaskan, disrupsi dunia peradilan sangat bergantung pada kesungguhan transformasi administrasi dan persidangan di pengadilan secara elektronik.

Baca juga: Otoritas Ukraina Selidiki Korupsi Skala Besar Mahkamah Agung

Langkah tersebut, sambungnya, merupakan pembaruan untuk mewujudkan proses peradilan yang sederhana, cepat, berbiaya ringan, dan tetap berpegang teguh pada 10 prinsip pedoman perilaku hakim dan 7 nilai utama peradilan.

"Mewujudkan keadilan merupakan esensi dari pembentukan UU Kekuasaan Kehakiman, yakni UU Nomor 48 Tahun 2009," sebutnya.

Ketentuan Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman secara lugas menyatakan, “pengadilan membantu mencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan”.

Oleh karena itu, kata Sobandi, MA dan pengadilan tidak boleh berhenti untuk melakukan transformasi dalam proses peradilan. Paradigma tersebut bisa terwujud ketika MA dan pengadilan mendapat jaminan keamanan dan kesejahteraan yang memadai.

"MA dan pengadilan juga harus mendapatkan SDM yang cakap dan menguasai teknologi informasi serta memiliki passion yang kuat untuk membangun industri peradilan," pungkas Sobandi.

Baca juga: Kuasa Hukum AG Bakal Ajukan Kasasi ke Mahkamah Agung, Buntut Penguatan Vonis 3,5 Tahun Penjara

Bagikan artikel ini melalui
Oke