JAKARTA, KOMPAS.com - Di tengah derasnya arus informasi di era digital, penggunaan formula tepat dalam penanaman nilai-nilai Pancasila pada semua lapisan masyarakat, khususnya generasi milenial menjadi tantangan tersendiri.
"Tentu saja metodenya harus menyesuaikan perkembangan dunia digital saat ini, di mana generasi milenial dalam satu hari menghabiskan waktu tujuh jam dengan gadget," kata pengamat politik Karyono Wibowo dalam program Titik Pandang di KompasTV, Jakarta Barat, Senin (27/7/2020).
Menurutnya, penanaman nilai-nilai Pancasila harus berbasis digital sebagai alat yang efektif. Selain itu bisa pula dilakukan riset. Misalnya, mengambil beberapa sampel konten yang paling banyak disukai, mendapatkan like maupun viewer dengan engagement tinggi.
Berdasarkan riset tersebut, lanjut dia, kemudian tentukan konten atau narasi apa yang mudah diterima kalangan milenial berkaitan dengan nilai-nilai Pancasila. Hal ini penting sebagai strategi penanaman nilai-nilai Pancasila.
Baca juga: Menurut Akademisi, BPIP Perlu Payung Hukum Setingkat UU
"Jadi, Pancasila jangan sekadar dijadikan dogma. Bagi generasi milenial, dogma sulit dipahami sehingga perlu cara yang inovatif dan up to date agar mudah diterima," paparnya.
Selain menggunakan instrumen digital, Karyono juga menekankan perlunya menyederhanakan konsep Pancasila dengan bahasa yang mudah dipahami generasi muda.
"Tidak perlu panjang-panjang atau bertele-tele dengan teori yang njelimet,” imbuhnya.
Menurutnya yang terpenting adalah menyederhanakan teori konsep Pancasila sesuai bahasa milenial. Dengan demikian, esensi nilai Pancasila lebih sesuai dengan pengalaman hidup sehari-hari anak muda.
Baca juga: Tantangan di Masa Depan dan Upaya Merawat Ideologi Pancasila
Karyono berharap, sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas pembinaan ideologi, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila ( BPIP) melakukan riset sebelum menyusun silabus penanaman nilai-nilai Pancasila.
"Apakah risetnya melalui focus group discussion, in depth interview, atau penelitian kualitatif," kata Karyono.
Ia pun mencontohkan, dalam proses penyusunan silabus nilai-nilai Pancasila juga harus melibatkan partisipasi kalangan milenial untuk menggali apa yang dibutuhkan generasi ini.
"Ini penting agar penyampaian konten Pancasila relevan dan sesuai dengan kebutuhan milenial," jelasnya.
Baca juga: Penerapan Pancasila Redup, Rektor UNS: BPIP Adalah Jawaban
Di kesempatan yang sama, Rektor Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UIN SU) Profesor Saidurrahman menyatakan, negara perlu hadir untuk mengarusutamakan Pancasila di tengah-tengah masyarakat.
“Yang dilakukan ini kan kultural kita. Milenial misalnya, maka harus masuk ke segmen milenial untuk meyakinkan bahwa generasi milenial secara kognisi telah diisi pemahaman bahwa Pancasila adalah ideologi yang terbaik,” kata Saidurrahman.
Ketika secara kognisi sudah diisi, lanjut dia, maka berlanjut ke tahap motorik yakni penerapan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, setiap hal yang dilakukan bersifat Pancasilais.
“Pasti enggak ada lagi nanti yang namanya korupsi, karena korupsi melanggar Undang-Undang sekaligus melanggar Pancasila,” terangnya.
Baca juga: Ketua MPR Sebut Presiden Jokowi Ingin BPIP Diatur UU
Dengan demikian, imbuh Saidurrahman, kalau pengarusutamaan Pancasila diwujudkan, Indonesia akan menjadi negara yang luar biasa.
Dalam penerapan Pancasila, Saidurrahman menyebutkan tiga hal penting yaitu titik pijak, titik temu, dan titik tuju.
“Kita sudah berpijak pada pijakan yang sama yaitu merdeka. Indonesia Raya ini sudah menjadi titik pijak kita,” jelasnya.
Kalau sudah merdeka, kata Saidurrahman, selanjutnya adalah titik temu. Semua rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke berhak bahagia, baik dari sisi materi, kebebasan berpendapat, maupun sisi perlindungan negara.
Baca juga: Kepala BPIP: Tuhan memberikan alat yang namanya Pancasila
“Nah selanjutnya titik tuju, yaitu Indonesia abadi. Itu tujuannya. Tidak boleh ada pikiran mau Pancasila atau tidak itu sama saja, itu tidak boleh.
Oleh karena itu Saidurrahman menilai pengarusutamaan Pancasila menjadi hal krusial untuk dilakukan, baik secara kultur maupun struktur.
“Secara kultur misalnya melalui media maupun pendidikan. Namun demikian, upaya kultural ini harus dikawal secara struktur melalui BPIP. Oleh karena itu menurut saya, Rancangan Undang-Undang BPIP menjadi bagian penting dari upaya pengarusutamaan Pancasila,” tambahnya.